Kamis, 04 Oktober 2012

JADWAL SEMENTARA PEMENTASAN,BULAN OKTOBER-NOVEMBER 2012

  1.  Minggu malam senin     15 okt 2012      pentas di SUSUKAN - LATENG -ROGOJAMPI
  2.  Rabu malam kamis        18 okt 2012      di RINGIN TELU
  3.  Jum"at malam sabtu             20 okt 2012         di Bongkoran
  4.  Sabtu mlm Minggu                21 okt 2012         di Tegaldlimo
  5.  SWenin mlm selasa               23 okt 2012         di Pulau merah Pancer
  6.  selasa malm rabu                  24 okt 2012         di Seneporejo
  7.  Rabu malam kamis                25 okt 2012         di Wonoasih
  8.  Minggu mlm Senin                 29 okt 2012         di Gumuk Agung
  9.  Senin mlm Selasa                  30 okt 2012         di Kendal Sumberbaru-singojuruh
  10.  Selasa mlm Rabu                  31 okt 2012         di Patok suwelas
  11.  Sabtu mlm Minggu                04 Nov 2012         di Kaliputih-blitaran
  12.  Minggu mlm Senin                 05 Nov 2012         di Toyomas
  13.  Rabu mlm Kamis                   08 Nov 2012         di Sembulung cluring
  14.  Kamis mlm Jum'at                 09 Nov 2012         di Re3jomulyo-Sraten
  15.  Jum'at mlm Sabtu                 10 Nov 2012         di Bongkoran
  16.  Sabtu mlm Minggu                11 Nov 2012         di Sumberwaru
Demikian jadwal sementara pementasan Seni Janger "setyo Kridho Budoyo" Bongkoran-Parijatahwetan-Srono-Banyuwangi...

Catatan: Jadwal sewaktu-waktu bisa bertambah,dan bagi Crew yang berhalangan hadir harap memberitahukan lebih awal.
                Mari Berdo'a bersama demi kesuksesan dan kejayaan SKB.

Tertanda....



FAJAR J.C.

Minggu, 23 September 2012

Penyerangan Panji Sakti ke Blambangan

Pada suatu waktu di ruang balairung puri di desa Panji, I Gusti Ngurah Panji sedang menerima punggawa para bendesa lengkap dengan pasukan Teruna Goak. Tidak terkecuali hadir I Gusti Tamlang Sampun dan I Gusti Made Batan. I Gusti Ngurah Panji mempertanyakan perihal putra beliau yang ada di Blambangan, antara lain beliau berkata:
,,E, kita Tamlang, angapa dadi tan pr?pta anak manira, sang adiry eng
Barangbangan, an wuwus ingundang nguni. Pasobyahannya dat?ng rakwnglawad
manira ring Weakham?sa. B?cik lalayar ing palwa. Wus pantaran ing
Jye?thakam?sa, dadi durung pr?pta anak manira. Lah, c?ttan?n ri id?pta!
(Wahai engkau Tamlang, mengapa anakku tidak hadir padahal sudah aku undang dulu. Janjinya menghadap aku pada bulan ke 10. Baiknya , sekarang sudah masuk bulan ke 11 belum juga datang. Wah apa alasan dirinya!)
I Gusti Tamlang segera menjawab:
,,Inggih Gusti Ngurah, manawamangguh kewuh anak I gusti, siddhnglongi
pan?maya, apan tan ana m?tr? ning wr?tt?.
( Benar Gusti Ngurah, barangkali menemukan kesulitan putra Gusti, sampai tidak bisa hadir menepati janji, lagi pula tidak ada kabar berita).
Belum selesai berkata-kata, tiba-tiba ada suara riuh di pasar membuat orang semua terkejut . Delapan orang mengaku dari Blambangan bergegas masuk kepuri. Orang-orang itu berpakaian compang camping dan badannya penuh luka berdarah.. Mukanya pucat karena tidak makan selama dalam perjalanan di laut. Mereka meloloskan diri untuk bisa melaporkan kepada I Gusti Ngurah Panji, bahwa putranya telah gugur, wafat dikerubuti musuh dan terbunuh oleh keris Ki Baru Surya.
I Gusti Ngurah Panji sangat kaget dan gusar mendengar gugurnya putranya di Blambangan. Setelah mendapat petuah dan petunjuk oleh Bhagawanta, I Gusti Ngurah Panji dapat menenangkan diri dan merencanakan langkah-langkah yang segera perlu diambil.
Laskar Teruna Gowak kalah di Blambangan.
Waktu itu warsa Iaka 1618 atau tahum 1696 M. Setelah seluruh laskar inti TerunaGowak serta seluruh balawadwa dan segala perbekalan senjata dan logistik siap, maka segera serentak pasukan laskar berangkat dibawah pimpinan langsung I Gusti Ngurah Panji.
Tidak diceritakan bagaimana perjalanan darat dan di laut, namun dapat begitu sampai di pantai menginjakkan kaki di bumi Blambangan, pasukan dari Bali itu mendapat perlawanan yang sengit. Rupanya pertahanan sudah dipersiapkan oleh Pangeran Mas Sedah dan Pangeran Mas Pahit secara matang. Namun laskar inti Teruna Gowak di bawah panglima perang I Gusti Tamlang dan I Gusti Batan dapat menerobos membuat laskar Blambangan kocar kacir. Namun pasukan belakang Blambangan sudah dipersiapkan menghadang laskar Terna Goak. Pertempuran sengit luar biasa. Banyak laskar kedua pihak berguguran dan darah membasahi tanah Blambangan. Namun tiba-tiba I Gusti Ngurah Panji memerintahkan I Gusti Tamlang agar pasukan segera mundur. Memang kondisi pasukan Bali sudah terdesak. Waktu sudah mulai gelap sangat berbahaya bagi laskar Bali dalam medan yang asing. Mendengar perintah demikian, pasukan Bali segera menuju pantai menyelamatkan diri. Mereka kecewa menemukan seluruh perahunya sudah porak poranda. Mereka bergelantungan di pecahan perahu sambil berenang sekuatnya menyeberangi Segara Rupek (Selat Bali) untuk mencapai pantai Bali. Sedang bergelayut pada pecahan perahu, I Gusti Ngurah Panji terkejut melihat beberapa ekor ikan lumba-lumba ( ikan julit) berenang mendekat dan kemudian tiba-tiba membelok, sepertinya ingin menuntun rombongan untuk mendapatkan arah yang benar menuju pantai Bali.
Sampailah mereka kembali di desa Panji. Rombongan I Gusti Ngurah Panji dan laskar teruna gowak disambut oleh masyarakat dengan keprihatinan karena mendapatkan kekalahan di Blambangan.
Entah berapa lama berlalu, I Gusti Ngurah Panji berusaha menata kembali strategi penyerangan kembali ke Blambangan. Beliau didampingi oleh putra putri, kerabat semua. Ikut hadir bhagawanta beliau Ida Pedanda Sakti Ngurah. Disamping itu pula hadir menantu beliau I Gusti Agung Anom dari Kapal Mengwi dan Raja Tabanan. Dengan dukungan dan bala bantuan dari Mengwi dan Tabanan terbentuk pasukan gabungan yang sangat besar dan tangguh untuk dipersiapkan menyerang Blambangan.
Penyerangan kembali ke Blambangan.
Iaka warsa 1619 atau tahun 1697, rencana yang besar pun rampung. Tidak lama kemudian penyerangan ke Blambangan dilaksanakan. Penyerangan pendahulu dari arah Selatan dilaksanakan oleh laskar Tabanan. Pasukan perang Blambangan segera menyongsong maka terjadi pertempuran sengit. Sedangkan dari arah Timur serangan dilancarkan laskar Teruna Gowak pimpinan I Gusti Tamlang Sampun dan I Gusti Made Batan. Tidak lama berselang laskar Mengwi menyusul.
Pangeran Mas Sedah berseru kepada I Gusti Ngurah Panji:
,,Eh, kita Ngurah Pa?ji, mwa sira Bali, m?nawngsa wirang; apan kasor nguni, duk aparang eng kikisik. Pisan mangke tak?rana pr?bh?wa! Lah, Tangk?pak?n lungid ing sangjatanta!
(E, kau Ngurah Panji, dan semua dari Bali yang menuntut bela, karena kekalahanmu dulu waktu bertempur di pantai. Sekarang datang menuntut balas! Wah, silakan hadapi dengan pertempuran!)
I Gusti Ngurah Panji segera menjawab:
,,Ih, Ki Dewa Mas S?dah, agung kitngucap, tan wruh lawan dosg?ng,
dentm?jah anakku! Yan tan olih manirmal?s, mari manira mapan?ng?ran ki Ngurah Panji akti!
(E, Ki Dewa Mas Sedah, besar omonganmu, seperti tidak tahu hal dosa besar, engkau telah membunuh anakku! Kalau tidak berhasil membalas, janganlah aku diberi gelar Ki Ngurah Panji Sakti!)
Suasana sudah memanas. Pertempuran besar-besaran sudah tidak bisa dielakkan lagi. Dalam pertempuran itu, Pangeran Mas Pahit, yang lebih muda dari dua bersaudara, gugur terbunuh oleh I Gusti Made Batan dengan keris Ki Bayu akti. Yang lebih tua, Pangeran Mas Sedah mengerahkan pasukannya dengan perlawanan sengit terhadap laskar Teruna Gowak. Pangeran Mas Sepuh langsung menyerang I Gusti Ngurah Panji, namun dihadang oleh Panglima Teruna Gowak, I Gusti Tamlang Sampun sehingga mendapat luka tusukan didadanya oleh Pangeran Mas Sedah dengan keris Ki Baru Surya. I Gusti Tamlang Sampun diusung oleh laskar Bali dan keadaannya selamat. Pangeran Mas Sedah ternyata juga terkena anak panah senjata Tunjung Tutur sehingga langsung gugur.
Dengan gugurnya kedua Pangeran Blambangan,Pangeran Mas Sedah dan Pangeran Mas Pahit, maka secara keseluruhan pasukan Blambangan langsung menyerah. Wilayah kerajaan Blambangan menjadi kekuasaan I Gusti Ngurah Panji (akti).
Setelah berhasil menguasai Blambangan, I Gusti Ngurah Panji bersama-sama I Gusti Agung Anom, menantunya, masuk keistana Dalem Blambangan. Kemudian disusul oleh raja Tabanan. Dalam pertemuan itu raja Tabanan mengingatkan, bahwa seluruh hasil kemenangan, termasuk segala harta benda jejarahan, tawanan perang harus dibagi tiga sama rata.
Tetapi I Gusti Ngurah Panji Sakti tidak membenarkan seperti itu. Yang berhasil menaklukkan Pangeran Mas Sedah dan Pangeran Mas Pahit adalah pihak I Gusti Ngurah Panji Sakti, bukan pihak raja Tabanan. I Gusti Agung Anom membenarkan hal tersebut. Raja Tabanan marah, merasakan tidak adil dan karena itu beliau dengan seluruh pasukan segera kembali ke Tabanan.

Sabtu, 08 September 2012

Sejarah MAJAPAHIT

Majapahit adalah Kerajaan yang terakhir dan sekaligus yang terbesar di antara kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara. Didahului oleh kerajaan Sriwijaya, yang beribukotakan Palembang di pulau Sumatra. Kerajaan ini dirintis oleh Raden Wijaya yang merupakan keturunan keempat dari Ken Arok dan Ken Dedes.

Sebelum kerajaan M
ajapahit lahir, telah berdiri terlebih dahulu pada tahun 1222 Masehi kerajaan Singosari yang pendirinya adalah Ken Arok yang berpusat di. Malang (Tumapel).
Lambang Kerajaan Majapahit

Penelusuran terhadap lahirnya kerajaan Majapahit tidak terlepas dari keberadaan kerajaan Singosari Tumapel. Begitupun kalau kita menelusuri awal bersatunya nusantara, tidak bisa terlepas dari kiprah Majapahit. Artinya keberadaan Singosari, Majapahit, dan Nusantara adalah sesuatu yang bersifat integral dan tidak terpisahkan satu sama lain.

Dalam sejarah bangsa Indonesia Majapahit memanglah ‘hanya’ satu di antara banyak kerajaan yang pernah berkembang di dalam tubuh bangsa persatuan yang kini disebut “Indonesia” ini. Walaupun demikian sejarahnya patut disimak dengan cermat karena kelebihannya: cakupan teritorialnya yang paling ekstensif, durasinya yang cukup panjang, serta pancapaian-pencapaian budayanya yang cukup bermakna.

Diawali dengan rintisan di masa Singhasari, yaitu masa Pra Majapahit yang mempunyai kesinambungan dinastik dengan masa Majapahit, Perluasan wilayah dilanjutkan dengan mencakup daerah-daerah yang lebih luas. Pada masa Singhasari negara-negara yang disatukan di bawah koordinasi kewenangan Singhasari adalah: Madhura, Lamajang, Kadiri, Wurawan, Morono, Hring, dan Lwa, semua mengacu pada daerah-daerah di pulau Jawa (timur ) dan Madura.

Untuk lebih jelasnya sebelum mengerti sejarah Majapahit akan diuraikan terlebih dahulu sejarah berdirinya kerajaan Singhasari yang merupakan cikal bakal berdirinya Kerajaan Majapahit.

Sejarah berdirinya Majapahit dimulai dari Perintah dari Raja Singhasari yaitu Kertanagara yang memerintahkan Raden Wijaya untuk menghalau serangan tentara Kadiri di desa Memeling. Raden Wijaya di desa Mameling berhasil menumpas musuh.

Candi Waringin Lawang
diperkirakan sebagai Gapura Majapahit


Dengan puas tentara Singosari kembali menuju ibukota, Betapa terkejutnya mereka ketika sampai di perbatasan sorak sorai tentara musuh yang telah berhasil merusak keraton Singhasari. Raja Śri Kĕrtānegara gugur, kerajaan Singhasāri berada di bawah kekuasaan raja Jayakatwang dari Kadiri. Raden Wijaya berusaha menyelamatkan apa yang masih mungkin bisa diselamatkan, mereka dengan gagah berani menyerbu kedalam istana, namun karena jumlah tentara kediri yang begitu banyak maka usaha tersebut tidak berhasil.

Raden Wijaya kemudian dikepung oleh patih Daha Kebo Mundarang sehingga akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri. Raden wijaya dengan pengikutnya Lembu Sora, Gajah Pagon, Medang Dangli, Malusa Wagal, Nambi, Banyak Kapuk, Kebo Kepetengan, Wirota Wiragati dan Pamandana lari melintasi sawah yang baru habis dibajak. Ketika hampir tertangkap oleh Patih Mundarang, Raden Wijaya memancal tanah bajakan sehingga jatuh didada dan dahi ki Patih ,Raden Wijaya pun berhasil lolos dari kejaran musuh.
Wilayah Kekuasaan Majapahit.

Setelah beristirahat sejenak Raden Wijaya kemudian membagi-bagikan celana gringsing kepada pengikut-pengikutnya tiap orang sehelai dan diperintahkan ngamuk, Pada waktu menjelang malam ketika tentara Kediri sedang berpesta pora Raden Wijaya dan para pengikutnya kembali lagi masuk kedalam keraton Singhasari.

Putri Kertanegara yang bungsu yaitu Gayatri ditawan oleh muduh dan dibawa ke Kediri sedangkan putri yang sulung yaitu Tribuaneswari berhasil diselamatkan oleh Raden Wijaya. Atas nasehat Lembu Sora, Raden Wijaya bersama Putri dan para pengikutnya kemudian mundur ke luar kota menuju arah utara karena tidak ada gunanya melanjutkan perang yang pasti akan membawa kekalahan karena jumlah tentara Kediri jauh lebih besar.

Candi Kedaton
Reruntuhan Istana Majapahit

Masih ada kira kira 600 orang pengikut Raden Wijaya. Paginya ia bertemu lagi dengan musuh, banyak prajurit yang putus asa dan meninggalkannya, hingga pengikutnya tinggal sedikit. Maka Wijaya bermaksud meneruskan perjalanan menuju ke Terung untuk minta bantuan kepada Akuwu Terung, Wuru Agraja yang diangkat sebagai akuwu oleh Mendiang Sri Kertanegara., dengan harapan memperoleh bantuan untuk mengumpulkan orang di sebelah timur dan timur laut Terung.

Maka pengikut Wijaya menjadi gembira dan pada malam harinya mereka berangkat ke barat melalui Kulawan yang telah dijadikan benteng oleh musuh, di mana ia menjumpai musuh yang besar jumlahnya.

Arca Pertapa Hindu Jaman Kerajaan Majapahit.

Raden Wijaya dikejar oleh musuh dan lari ke utara menuju Kembangsri (Bangsri), di mana ia berjumpa lagi dengan musuh, hingga ia terpaksa bergegas mencebur ke Bengawan dan menyeberanginya. Di sungai ini banyak prajuritnya yang tewas terkena tumbak musuh. Banyak yang lari mencari hidup sendiri-sendiri.

Sesampainya di seberang sungai pengikut Wijaya tinggal duabelas orang. Pada pagi hari rombongan Wijaya diketemukan oleh rakyat Kudadu. Disana Raden Wijaya diterima dan dijamu ketua desa yang bernama Macan Kuping dengan kelapa muda dan nasi putih. Raden wijaya sangat terharu atas sambutan tersebut . Gajah Pagon yang menderita luka cukup parah di pahanya akhirnya ditinggal di Dusun pandak, disembunyikan di tengah ladang.

Raden Wijaya kemudian melanjutkan perjalanan Ke Pulau Madura diantar sampai di daerah Rembang. Dalam Pararaton dusun Pandak tidak disebut yang disebut ialah datar. Lempengan tembaga yang terdapat di Gunung Butak di daerah Mojokerto yang dikeluarkan oleh Raden Wijaya setelah menjadi Raja Majapahit terkenal dengan Piagam Kudadu sebagai ungkapan terima kasih Raden Wijaya kepada ketua dusun kudadu yang pernah menerimanya dengan ramah sebelum melanjukan perjalanan ke Madura.

Berkat pertolongan Kepala Desa Kudadu, rombongan Raden Wijaya dapat menyeberangi laut menuju Madura untuk meminta perlindungan dari Arya Wiraraja, seorang Bupati Singhasari yang ditempatkan di didaerah tersebut.. Raden Wijaya Tiba di Madura Setibanya di Pulau Madura, Raden Wijaya dan pengikutnya segera menemui Arya Wiraraja.
Sikap Arya Wiraraja sebagai Bupati Singhasari tidak berubah meskipun tahu Kerajaan Singhasari telah runtuh. Sambutan yang demikian membuat Raden Wijaya terharu sehingga menjanjikan apabila berhasil mengembalikan kekuasaan yang telah direbut Jayakatwang maka wilayah kerajaan setengahnya akan diberikan kepada Arya Wiraraja. Arya Wiraraja sangat senang mendengar janji Raden Wijaya dan akan berupaya mengerahkan segala kekuatan yang dimilikinya untuk mewujudkan keinginan Raden Wijaya tersebut.
Prajurit Majapahit

Arya Wiraraja juga memberi nasehat agar Raden Wijaya menyerah dan mengabdi kepada Prabu Jayakatwang di Kediri dan selama tinggal di istana, Raden Wijaya diminta menyelidiki sampai dimana kekuatan tentara Kadiri. Setelah itu Raden Wijaya diminta mengajukan permohonan kepada Prabu Jayakatwang untuk membuka hutan dan tanah tandus di daerah Tarik dan Arya Wiraraja akan mengirimkan orang-orang Madura untuk membantunya.

Buah Maja

Konon, buah maja ditemukan pada saat Raden Wijaya diijinkan membuka hutan Tarik Demikianlah Arya Wiraraja kemudian mengirimkan utusan ke Kadiri untuk menyampaikan bahwa Raden Wijaya menyerah dan bermaksud untuk mengabdi kepada Prabu Jayakatwang. Permohonan tersebut disetujui oleh Prabu Jayakatwang.

Raden Wijaya kemudian berangkat ke Kadiri dengan diantar oleh Arya Wiraraja sampai di daerah Terung dan Raden Wijaya kemudian dijemput oleh patih kadiri yaitu Sagara Winotan dan Yangkung Angilo di daerah Jung Biru. Adapun Tribhuwaneswari yang turut serta dalam perjalanan Raden Wijaya ke Madura dititipkan ke pada Arya Wiraraja.

Kedatangan Raden Wijaya dan para pengikutnya di Kadiri bertepatan dengan perayaan hari raya Galungan. Setelah cukup lama mengabdi di Kadiri Raden Wijaya kemudian mengusulkan untuk membuka daerah tarik (daerah Sidoarjo) menjadi hutan perburuan bagi Prabu Jayakatwang yang suka berburu. Usul tersebut segera disetujui tanpa curiga. Daerah Tarik terletak di tepi sungai Brantas dekat pelabuhan Canggu yang sekarang terletak di sebelah Timur Mojokerto.

Raden Wijaya Segera mengirim Wirondaya ke Sumenep Madura untuk melaporkan persetujuan tersebut kepada Bupati Madura Arya Wiraraja. Arya Wiraraja kemudian mengerahkan orang Madura untuk membuka Hutan tarik Dalam waktu singkat hutan tarik berhasil dibuka dan orang Madura yang membantu pembukaan hutan tersebut kemudian menetap di daerah tersebut. Daerah tersebut kemudian dinamakan Majapahit atau Wilwatikta.

Konon pada saat itu, seorang tentara yang haus mencoba memakan buah maja yang banyak terdapat pada tempat itu dan menemukan bahwa ternyata rasanya pahit sehingga daerah itu dinamai demikian. Wilwa artinya buah Maja, Tikta artinya pahit. Setelah Hutan Tarik berhasil dibuka, Raden Wijaya kemudian minta izin kepada Prabu Jayakatwang untuk menengok daerah tersebut.

Prabu Jayakatwang mengizinkan asal tidak lama tinggal didaerah tersebut. Demikianlah akhirnya Raden wijaya berangkat bersama pengiringnya pada hari mertamasa. Pada hari ke tujuh Raden Wijaya akhirnya sampai di daerah Tarik dan tinggal di Pesanggrahan yang terbuat dari bambu yang dikelilingi kolam. Panji Wijayakrama memberikan uraian yang sangat jelas tentang keberadaan daerah Majapahit sebagai berikut :

  • Kota yang dibangun menghadap ke sungai yang besar yaitu sungai brantas yang mengalir dari Kediri sampai ke laut.
  • Sungai kecil yang mengalir dari selatan yaitu kali mas yang pada jaman tersebut disebut kali Kancana.
  • Perahu dagang hilir mudik silih berganti dikemudikan oleh orang Madura. · Orang Madura mengalir tak putus putusnya ke Majapahit, mereka menetap di Majapahit bagian utara yang dinamakan Wirasabha. ·
  • Disebelah tenggara kota adalah jembatan.
  • Daerah yang dibuka sebagian besar berupa sawah dan perkebunan yang ditanami bunga, pucang, pinang , kelapa dan pisang ·
  • Telah tersedia tahta dari batu putih tempat duduk Raden Wijaya yang dinakaman Wijil Pindo yang artinya pintu kedua.
Raden Wijaya pandai mengambil hati rakyat Majapahit yang baru saja menetap di daerah Tarik, orang orang dari Daha dan Tumapel kemudian banyak yang menetap di daerah Majaphit. Di desa ini Raden Wijaya kemudian memimpin dan menghimpun kekuatan, khususnya rakyat yang loyal terhadap mendiang Prabu Kertanegara yang berasal dari daerah Daha dan Tumapel.

Arya Wiraraja sendiri menyiapkan pasukannya di Madura untuk membantu Raden Wijaya bila saatnya diperlukan. Rupanya ia pun kurang menyukai Raja Jayakatwang. Banyak Kapuk dan Mahisa Pawagal yang diutus oleh Raden Wijaya ke sumenep Madura telah sampai. Semua pesan Raden Wijaya telah disampaikan kepada Arya Wiraraja.

Ketika mereka akan kembali putra Arya Wiraraja yang bertempat di dusun Tanjung di sebelah Barat Madura dikirim ke Majapahit membawa pesan ayahnya bahwa Arya Wiraraja belum bisa datang ke Majapahit dan Arya Wiraraja akan secepatnya mengirim utusan ke Tiongkok untuk minta bantuan tentara Tartar. Banyak Kapuk dan Mahisa Pawagal akhirnya pulang ke majapahit mengiringi Putri Tribhuwaneswari dan Putra Arya Wiraraja yaitu Ranggalawe.

Nama Ranggalawe adalah pemberian Raden Wijaya kepada putra Arya Wiraraja tersebut karena ketegasan tindak tanduknya pada saat pertama kali bertemu Raden Wijaya. Lawe artinya benang / wenang karena dia diberikan wewenang untuk memerintah seluruh rakyat Madura dan diberi pangkat Rangga.

Keesokan harinya Raden Wijaya bersama Ranggalawe, Ken Sora dan para Wreddha Menteri lainnya menyusun siasat untuk menyerang kerajaan kediri. Namun sebelum penyerangan dilaksanakan Ranggalawe minta ijin pulang ke Madura untuk mengambil kuda ayahnya yang berasal dari daerah Bima dan kuda kuda lainnya untuk tunggangan para panglima pasukan. Usul tersebut disetujui akhirnya Ranggalawe pulang ke Madura.

Raden Wijaya telah lama meninggalkan kediri, akhirnya pada bulan Waisaka datang utusan dari Prabu Jayakatwang yang bernama Sagara Winotan yang meminta kepada Raden Wijaya untuk balik ke Kediri karena Prabu Jayakatwang akan melaksanakan perburuan di daerah baru tersebut. Pada saat Sagara Winotan ada di Majapahit datanglah Ranggalawe dengan kuda kuda perangnya dari Madura. Kuda kuda tersebut kemudian diturunkan dari atas Kapal.

Arca Raden Wijaya


Segara Wionotan terheran heran melihatnya. Untuk menghindari kecurigaan dari utusan kediri tersebut, Raden wijaya kemudian menjelaskan bahwa kuda kuda tersebut akan dipergunakan untuk persiapan berburu Prabu Jayakatwang. Segara Winotan percaya akan maksud baik Raden Wijaya dan ingin segera melihat sepak terjang orang orang Madura dalam melaksanakan perburuan. Namun perkataan Segara Winotan tanpa disadari telah menyinggung hati Ranggalawe sehingga menyahut “ apa bedanya tindak landuk petani Madura dengan orang Daha, segera engkau akan mengetahui kemampuan orang Madura “. Raden Wijaya terkejut mendengar teriakan lantang Ranggalawe.

Kalau hal tersebut dibiarkan maka akan terjadi perselisihan diantara kedua orang tersebut dan apa yang telah dirahasiakan selama ini akan terbongkar. Untuk menenangkan suasana Ken Sora kemudian mengajak Ranggalawe untuk mengawasi penurunan kuda kuda dari kapal. Segara Winotan yang terkejut dengan teriakan Ranggalawe segera menanyakan siapakan gerangan orang tersebut.

Raden Wijaya menjelaskan bahwa orang tersebut adalah Kemenakan Ken Sora dari Tanjung sebelah barat Madura. Ucapannya kasar karena dia adalah petani bentil, karena itu janganlah terlalu diambil hati. Segera Winota kemudian kembali ke Daha. Kuda yang dibawa oleh Ranggalawe dari Madura berjumah 27 ekor kemudian dibagikan kepada para pemimpin pasukan. Segara Winotan telah kembali ke Kerajaan Kediri kemudian melaporkan ke hadapan Prabu Jayakatwang persiapan berburu yang telah dilakukan oleh Raden Wijaya, tanpa mengetahui keadaan yang sebenarnya. Maklumlah selama di daerah Tarik Segara Winotan hanya diterima di daerah Warasaba dan tidak diberi kesempatan untuk melihat keadaan kota.

Raden Wijaya sangat pintar untuk menerima tamunya sedemikian rupa sehingga Segara Winotan tidak mengetahui persiapan perang yang sedang direncanakan oleh Raden Wijaya. Arya Wiraraja telah bersiap siap untuk berangkat ke Majapahit diiringi Bala tentaranya dari Madura. Kedatangannya dengan perahu sampai di Canggu disambut oleh Raden Wijaya dan ditempatkan di Pesanggarahan yang telah dipersiapkan untuknya.

Arya Wiraraja minta maaf kepada Raden Wijaya karena telah mengambil keputusan tanpa persetujuan dari Raden Wijaya yang menjanjikan 2 orang putri dari Tumapel akan diserahkan kepada Kaisar Tartar bila mampu menundukkan kerajaan Kediri dibawah pimpinan Prabu Jayakatwang. Kaisar Tartar berjanji bahwa pasukan Tartar akan datang pada bulan Waisaka.

Dalam menyusun siasat untuk menyerang Kerajaan Kediri, Ranggalawe mengusulkan agar pasukan majapahit dipecah menjadi 2 yaitu ·

  • Arya Wiraraja memimpin pasukan yang bergerak melalui jalan raja, lewat Linggasana.
  • Raden Wijaya memimpin pasukan yang melalui Singhasari. Ranggalawe akan ikut dalam pasukan pimpinan Raden Wijaya, kedua pasukan akan bertemu di daerah Barebeg.
Dalam Kidung Harsa Wijaya Pupuh IV diuraikan tentang peperangan Majapahit dengan Kerajaan Kediri. Ranggalawe berpendapat tidaklah mungkin terjadinya perang tanpa ada penyebabnya, karena hal tersebut akan menimbulkan tuduhan bahwa Raden Wijaya tidak tahu berterima kasih akan kebaikan Prabu Jayakatwang yang telah menerima Raden Wijaya dan pengikutnya dengan baik selama mengabdi di kerajaan Kediri.

Oleh karena itu Ranggalawe mengusulkan agar Raden Wijaya mengirimkan utusan ke Prabu Jayakatwang untuk meminta putri Puspawati dan Gayatri yaitu putri Prabu Kertanagara yang ditawan oleh Kerajaan Kadiri. Jika permintaan tersebut tidak dikabulkan maka alasan tersebutlah yang akan dipakai dasar untuk menyerang Kerajaan Kediri. Ken Sora, Gajah Pagon dan Lembu Peteng lebih cendrung untuk memberontak begitu saja, karena bukan tidak mungkin prabu Jayakatwang akan meluluskan permintaan Raden Wijaya tersebut.

Nambi mengusulkan agar tentara Majapahit berusaha memikat Menteri Menteri kerajaan Daha sehingga ikut membantu pemberontakan terhadap pemerintahan prabu Jayakatwang. Usul tersebut ditolak oleh Podang yang mendapat dukungan dari Panji Amarajaya, Jaran Waha, Kebo Bungalan dan Ranggalawe. Karena pandapat yang berbeda beda tersebut akhirnya mereka semua minta pendapat dari Arya Wiraraja, karena telah terbukti Arya Wiraraja pandai memberi nasehat kepada Raden Wijaya. Arya Wiraraja memberi nasehat agar Raden Wijaya bersabar menunggu kedatangan Pasukan dari Tartar sebulan lagi.

Pasukan Berkuda Mongol
Akhirnya pada tanggal 1 Maret 1293, 20.000 pasukan Mongol mendarat di Jawa. disebelah barat Canggu dan langsung membuat benteng pertahanan di lembah Janggala. Disebutkan bahwa utusan yang dikirim ke Jawa terdiri dari tiga orang pejabat tinggi kerajaan, yaitu Shih Pi, Ike Mese, dan Kau Hsing. Hanya Kau Hsing yang berdarah Cina, sedangkan dua lainnya adalah orang Mongol. Mereka diberangkatkan dari Fukien membawa 20.000 pasukan dan seribu kapal.
Kublai Khan membekali pasukan ini untuk pelayaran selama satu tahun serta biaya sebesar 40.000 batangan perak. Shih Pi dan Ike Mese mengumpulkan pasukan dari tiga provinsi: Fukien, Kiangsi, dan Hukuang. Sedangkan Kau Hsing bertanggung jawab untuk menyiapkan perbekalan dan kapal. Pasukan besar ini berangkat dari pelabuhan Chuan-chou dan tiba di Pulau Belitung sekitar bulan Januari tahun 1293.

Di sini mereka mempersiapkan penyerangan ke Jawa selama lebih kurang satu bulan. Kekuatan Satuan Tugas Expedisi Tartar. Untuk mendapatkan gambaran betapa besar kekuatan Satuan Tugas Expedisi Tartar ke Jawa kami mencoba membuat analisa data yang disebut dalam buku W.P.Groeneveldt. Analisa ini juga untuk mendapatkan gambaran susunan dari Satuan Tugas ini.

Armada tugas berkekuatan 1000 kapal dengan perbekalan cukup untuk satu tahun. Gubernur Fukien diperintahkan oleh Kubilai Khan untuk menghimpun pasukan berkekuatan 20.000 dari propinsi-propinsi Fukien, Kiang-si dan Hukuang. Tiga propinsi ini berada di Cina Selatan. Fukien berbatasan dengan laut selat Taiwan. Pasukan ini dikumpulkan di pelabuhan propinsi Fukien bernama Chuan-chau dari mana armada diberangkatkan.

Jadi pasukan yang dikumpulkan dari tiga propinsi adalah terdiri dari orang Cina. Sebagai pemimpin umum ditunjuk Shih-pi dan Ike Mese dan Kau Hsing sebagai pembantu-pembantunya. Dari namanya dapat diperkirakan, Shih-pi dan Ike Mese adalah berasal dari Mongolia (Tartar asli) sedang Kau Hsing adalah Cina. Pasukan Tartar yang menyerbu ke Eropa terkenal karena pasukan kudanya.

Jadi dapat diperkirakan pasukan kavaleri yang ikut ke Jawa ini terdiri atas orang-orang Tartar. Selain dari tiga propinsi di atas disebut pula adanya beberapa kesatuan yang dikumpulkan di Ching-yuan (sekarang Ning-po) di sebelah selatan Syang-hai. Shih-pi dan Ike Mese lewat daratan dengan pasukan itu berjalan dari sini menuju Chuan-chou, sedang Kau Hsing mengangkut perbekalan dengan kapal.

Jadi diperkirakan pasukan yang berkumpul di Ning-po ini adalah kesatuan-kesatuan berkuda (kavaleri) yang disebut dalam laporan Shih-pi berkekuatan 5000 orang, kiranya terdiri dari orang-orang Tartar. Maka dapat diperkirakan, expedisi yang berkekuatan 20.000 orang ini terbagi dalam infanteri 15.000 orang. Dalam kronik Cina itu tidak disebut berapa besar jumlah awak kapal yang 1000 buah itu. Kalau tiap kapal berawak kapal 10 orang maka seluruhnya akan berjumlah 10.000 orang pelaut.

Jadi seluruh expedisi ini berkekuatan 1000 kapal, kira-kira 30.000 prajurit dan 5000 kuda. Sesampainya di Tuban expedisi tersebut, seperdua dari kekuatan tempur didaratkan di sini dan menuju Pacekan lewat darat. Bagian yang lewat darat ini dipimpin oleh Kau Hsing terdiri atas kavaleri dan infanteri sedang seorang “Commander of Ten Thousand” (Pangleksa) meminpin pasukan pelopor.

Shih-pi dengan seperdua bagian lainnya menuju Ujunggaluh lewat laut membawa perbekalan armada dipimpin oleh Ike Mese. Kiranya bagian yang dengan kapal ini adalah kesatuan-kesatuan bantuan dan senjata bantuan, kesatuan perbekalan dan kesatuan senjata berat, pelempar peluru (batu?). Mengingat keadaan medan di Jawa diperkirakan banyak terdiri dari rawa-rawa maka senjata berat ini akan selalu disiapkan di kapal saja.

Bagian terbesar dari expedisi ini adalah kesatuan infanteri. Maka dapat diperkirakan seluruh kekuatan expedisi terbagi atas kesatuan kavaleri 5000 orang, kesatuan infanteri kira-kira 10.000 orang dan kesatuan bantuan kira-kira 5000 orang yang dapat dipakai sebagai bantuan cadangan. Perjalanan menuju Pulau Belitung yang memakan waktu beberapa minggu melemahkan bala tentara Mongol karena harus melewati laut dengan ombak yang cukup besar.

Banyak prajurit yang sakit karena tidak terbiasa melakukan pelayaran. Di Belitung mereka menebang pohon dan membuat perahu (boats) berukuran lebih kecil untuk masuk ke sungai-sungai di Jawa yang sempit sambil memperbaiki kapal-kapal mereka yang telah berlayar mengarungi laut cukup jauh. Penyerangan Kerajaan Kadiri Pada bulan kedua tahun itu Ike Mese bersama pejabat yang menangani wilayah Jawa dan 500 orang menggunakan 10 kapal berangkat menuju ke Jawa untuk membuka jalan bagi bala tentara Mongol yang dipimpin oleh Shih Pi.

Ketika berada di Tuban mereka mendengar bahwa raja Kartanagara telah tewas dibunuh oleh Jayakatwang yang kemudian mengangkat dirinya sebagai raja Singhasari. Oleh karena perintah Kublai Khan adalah menundukkan Jawa dan memaksa raja

Singhasari, siapa pun orangnya, untuk mengakui kekuasaan bangsa Mongol, maka rencana menjatuhkan Jawa tetap dilaksanakan. Sebelum menyusul ke Tuban orang-orang Mongol kembali berhenti di Pulau Karimunjawa untuk bersiap-siap memasuki wilayah Singhasari. Setelah berkumpul kembali di Tuban dengan bala tentara Mongol. Ike Mese mengetahui kalau Kertanegara memiliki ahli waris bernama Raden Wijaya.

Ia pun mengirim utusan menemui Raden Wijaya yang berkampung di Majapahit. Raden Wijaya bersedia menyerah dan tunduk kepada Mongol asalkan terlebih dahulu dibantu mengalahkan Jayakatwang raja Kadiri. Ike Mese kemudian diundang ke desa Majapahit. Diputuskan bahwa Ike Mese akan membawa setengah dari pasukan kira-kira sebanyak 10.000 orang berjalan kaki menuju Singhasari, selebihnya tetap di kapal dan melakukan perjalanan menggunakan sungai sebagai jalan masuk ke tempat yang sama.

Sebagai seorang pelaut yang berpengalaman, Ike Mese, yang sebenarnya adalah suku Uigur dari pedalaman Cina bukannya bangsa Mongol, mendahului untuk membina kerja sama dengan penguasa-penguasa lokal yang tidak setia kepada Jayakatwang. Kisah serangan Mongol terhadap Jawa tersebut tercantum dalam Catatan Sejarah Dinasti Yuan yang telah diterjemahkan oleh W.P. Groeneveldt, dalam bukunya, Notes on The Malay Archipelago and Malacca, Compiled from Chinese Sources (1880).

Menurut cerita Pararaton Permohonan Arya Wiraraja kepada Kaisar Tiongkok untuk memperoleh bantuan dalam usahanya menyerang kerajaan Kediri dengan janji dua orang putri dari Tumapel dan seorang Putri dari Kerajaan Kediri yaitu Ratna Kesari pada hakikatnya adalah bumbu romantis dari pengiriman tentara tersebut. Tanpa permohonan bantuan dan janji tersebut tentara Tartar pasti datang ke Jawa untuk menuntut balas atas penghinaan utusannya yang bernama Meng ki oleh Prabu Kertanegara.

Di muka telah diuraikan bagaimana watak Kaisar Kubilai Khan yang sangat ambisius untuk memperluas daerah kekuasaannya, namun hal tersebut berbenturan dengan Prabu kertanagara yang sadar akan keagungannya sebagai raja yang berdaulat sehingga tidak mau tunduk begitu saja akan keinginan kaisar Kubilai Khan. Armada kapal kerajaan Mongol selebihnya dipimpin langsung oleh Shih Pi memasuki Jawa dari arah sungai Sedayu dan Kali Mas. Setelah mendarat di Jawa, ia menugaskan Ike Mese dan Kau Hsing untuk memimpin pasukan darat.

Kubilai Khan

Beberapa panglima “pasukan 10.000-an” turut mendampingi mereka. Sebelumnya, tiga orang pejabat tinggi diberangkatkan menggunakan ‘kapal cepat’ menuju ke Majapahit Untuk mempermudah gerakan bala tentara asing ini, Raden Wijaya memberi kebebasan untuk menggunakan pelabuhan-pelabuhan yang ada di bawah kekuasaannya dan bahkan memberikan panduan untuk mencapai Daha, ibukota Singhasari.

Ia juga memberikan peta wilayah Singhsari kepada Shih Pi yang sangat bermanfaat dalam menyusun strategi perang menghancurkan Jayakatwang. Selain Majapahit, beberapa kerajaan kecil turut bergabung dengan orang-orang Mongol sehingga menambah besar kekuatan militer sudah sangat kuat ketika berangkat dari Cina. Persengkongkolan ini terwujud sebagai ungkapan rasa tidak suka mereka terhadap raja Jayakatwang yang telah membunuh Kartanegara melalui sebuah kudeta yang keji. Berita pendaratan pasukan dari Tartar telah tersiar sampai di kerajaan Kediri, berita pendaratan tersebut ditambah dengan pemberontakan rakyat Majapahit dan penduduk di sebelah timur Tegal bobot sari dipimpin oleh Arya Wiraraja.

Berita tersebut menimbulkan keributan antara rakyat dan tentara Kediri, Segara Winotan dituduh berkhianat kepada raja karena memberikan laporan yang tidak sebenarnya, segala kesalahan ditumpahkan kepadanya. Puncak keributan tersebut berupa penghunusan keris oleh Kebo Rubuh yang siap ditikamkan kepada Segara Wonotan tetapi dengan cepat berhasil dicegah oleh Prabu Jayakatwang. Pada saat itu datang akuwu di Tuban yang memberikan laporan bahwa tentara Tartar telah mendarat di daerah tersebut.

Mereka merusak Kota Tuban, rakyat banyak yang lari mengungsi. Prabu Jayakatwang menyadari bahwa negara benar benar dalam keadaan terancam. Pasukan harus segera dipersiapkan untuk menghadapi musuh yang akan datang. Untuk membendung tentara Tartar dan majapahit akhirnya diputuskan tentara Kediri akan dibagi dalam 3 pertahanan yaitu :

  • Mahisa Antaka dan Bowong memimpin pertahanan di bagian Utara , Prabu Jayakatwang ikut dalam pertahanan ini.
  • Sagara Winotan dan Senapati Rangga Janur memimpin pertahanan di bagian Timur.
  • Kebo Mudarang dan senapati Pangelet memimpin pertahaan bagian selatan
Prabu Jayakatwang sangat marah kepada Raden Wijaya sehingga memutuskan menyerang musuh yang sedang bergerak. Tentara Kadiri menyerang Majapahit dari tiga jurusan yaitu fron utara dipimpin oleh para adipati dan anjuru, fron selatan dipimpin oleh Menteri Araraman dan fron timur dipimpin oleh prajurit yang langsung berhadapan dengan pasukan dari Majapahit. Namun semuanya dapat dipukul mundur oleh pasukan Majapahit dan Mongol.
Pada bulan ketiga tahun 1293, setelah seluruh pasukan berkumpul di mulut sungai Kali Mas, penyerbuan ke kerajaan Kediri mulai dilancarkan. Kekuatan kerajaan Kediri di sungai tersebut dapat dilumpuhkan, lebih dari 100 kapal berdekorasi kepala raksasa dapat disita karena seluruh prajurit dan pejabat yang mempertahankannya melarikan diri untuk bergabung dengan pasukan induknya.

Peperangan besar baru terjadi pada hari ke-15, bila dihitung semenjak pasukan Mongol mendarat dan membangun kekuatan di muara Kali Mas, di mana bala tentara gabungan Mongol dengan Raden wijaya berhasil mengalahkan pasukan Kadiri.

Kekalahan ini menyebabkan sisa pasukan kembali melarikan diri untuk berkumpul di Daha, ibukota Kadiri. Pasukan Ike Mese, Kau Hsing, dan Raden wijaya melakukan pengejaran dan berhasil memasuki Daha beberapa hari kemudian. Pada hari ke-19 terjadi peperangan yang sangat menentukan bagi kerajaan Kadiri Ike Mese menyerang dari timur, Kau Hsing dari barat, Shih Pi menyusuri sungai, sedangkan pasukan Raden Wijaya sebagai barisan belakang.

Perang meletus tanggal 20 Maret 1293 pagi. Kota Daha digempur tiga kali meskipun sudah dijaga 100.000 orang prajurit. Gabungan pasukan Cina dan Raden Wijaya berhasil membinasakan 5.000 tentara Daha. Dalam Kidung Panji Wijayakrama pupuh VII Segara Winotan berhadapan dengan Ranggalawe di pertahanan bagian Timur. Ranggalawe mengendarai kuda Anda Wesi berhasil melompat kedalam kereta Segara Winotan.

Dalam pertempuran diatas kereta tersebut Ranggalawe berhasil memotong leher Segara Winotan sampai tewas. Di bagian selatan Ken Sora berhasil menangkap kebo Mundarang di lurah Trini Panti. Kebo Mundarang yang sudah tidak berdaya berjanji untuk menyerahkan anak perempuannya kepada Ken Sora namun Ken Sora tidak sudi mendengarnya.

Dalam peperangan ini dikatakan bahwa pasukan Mongol menggunakan meriam yang pada zaman itu masih tergolong langka di dunia. Terjadi tiga kali pertempuran besar antara kedua kekuatan yang berseteru ini di keempat arah kota dan dimenangkan oleh pihak para penyerbu. Pasukan Kadiri terpecah dua, sebagian menuju sungai dan tenggelam di sana karena dihadang oleh orang-orang Mongol, sedang sebagian lagi sebanyak lebih kurang 5.000 dalam keadaan panik akhirnya terbunuh setelah bertempur dengan tentara gabungan Mongol-Majapahit.

Salah seorang anak Jayakatwang yang melarikan diri ke perbukitan di sekitar ibukota dapat ditangkap dan ditawan oleh pasukan Kau Hsing berkekuatan seribu orang. Dengan kekuatan yang tinggal setengah, Jayakatwang mundur untuk berlindung di dalam benteng. Sore hari, menyadari bahwa ia tidak mungkin mempertahankan lagi di Daha, Jayakatwang keluar dari benteng dan menyerahkan diri untuk kemudian ditawan di benteng pertahan ujung galuh.

Menurut Pararaton dan Kidung Harsawijaya, Jayakatwang meninggal dunia di dalam penjara Ujung Galuh setelah menyelesaikan sebuah karya sastra berjudul Kidung Wukir Polaman. Setelah Raja Jayakatwang kalah, Raden Wijaya mohon diri kembali ke Majapahit untuk menyiapkan upeti bagi kaisar Khubilai Khan. Kerajaan Kediri telah jatuh, Putri Gayatri kemudian diboyong kembali ke Majapahit.

Agaknya timbul perselisihan antara panglima Cina ini dengan panglima-panglima Tartar. Shih-pi dan Ike Mese, karena kedua orang panglima ini telah mengijinkan Wijaya kembali ke Majapahit. Kau Hsing tidak mempercayai Wijaya, maka ia mengejar dan meninggalkan Kediri dengan divisi dan pasukan pelopor yang di bawah pimpinannya.

Majapahit menghalau Tentara Tartar Sebelum dimulai uraian tentang gerakan-gerakan operasi militer oleh Raden Wijaya terhadap kesatuan-kesatuan Tartar, lebih dahulu kita berusaha mendapatkan gambaran mengenai keadaan yaitu medan di mana kesatuan-kesatuan baik dari Majapahit maupun dari Tartar. Keuntungan Majapahit adalah, bahwa prajurit Majapahit lebih mengenal keadaan medan yang bagi orang Tartar masih sangat asing.

Medan berbukit-bukit dan sebagian besar tersusun oleh tanah keras atau bongkah-bongkah karang. Di sebelah timur sungai diperkirakan keadaan tanahnya masih lunak, bahkan banyak yang merupakan rawa-rawa dan di dekat desa di sana-sini berupa tanah persawahan. Kalau ada jalan tentu jalan-jalan ini tidak dikeraskan dengan diberi dasar batu. Baik di barat maupun di timur sungai masih terdapat banyak hutan-hutan lebat. Betapa sukarnya daerah ini dilalui, apa lagi oleh suatu kesatuan militer yang besar, dapat kita perkirakan dari waktu yang diperlukan untuk menempuh jarak antara Pacekan sampai Kediri.

Dalam kronik Cina laporan Shih-pi menyebut, ia harus bertempur sepanjang kurang-lebih 300 li dari Kediri sampai ke kapal-kapalnya. Memang jarak antara Surabaya dan Kediri adalah kira-kira 130 kilometer lewat jalan berbelok-belok, kalau ditarik garis lempang dari Surabaya sampai Kediri kira-kira jarak itu adalah kurang-lebih 100 kilometer.

Jarak Majapahit-Kediri yang kira-kira tujuhpuluh kilometer itu oleh kesatuan Tartar ditempuh dalam waktu 4 hari (tanggal 15 sampai 19) berjalan. Jadi tiap harinya hanya dapat menyelesaikan jarak kira-kira 17 kilometer. Kalau sehari selama 2 hari masih terang mereka dapat berjalan kira-kira 9 jam, maka tiap jam kiranya dapat diselesaikan 2 km.

Maka dari sini kita dapat membuat perkiraan, betapa beratnya keadaan medan pada waktu itu. Kronik Cina menyebut, Wijaya pada hari ke dua bulan ke empat diizinkan kembali ke Majapahit dengan pasukannya disertai oleh dua orang perwira Tartar dan 200 orang prajurit untuk menyiapkan persembahan bagi kaisar Tartar, jadi 13 hari setelah Kediri menyerah.

Tanggal 9 Mei ia berangkat, sampai di Majapahit tanggal 13 Mei. Dengan diam-diam Wijaya menyiapkan pasukan dan rakyatnya. Dalam Kronik cina disebutkan bahwa Kau Hsing yang sejak tanggal dikalahkannya Kediri mengejar seorang pangeran yang lari ke pegunungan sekembalinya ke Kediri baru mengetahui, bahwa Wijaya telah berangkat dengan ijin Shih-pi dan Ike Mese. Tindakan rekan-rekannya ini tidak disetujui oleh Kau Hsing, agaknya timbullah perselisihan antara para pembesar ini. Diperkirakan Kau Hsing berada di pegunungan selama dua minggu lebih, kita buat 16 hari. Maka ia diperkirakan kembali pada tanggal 14 Mei.

Setelah mengumpulkan divisinya ia segera mengejar Wijaya yang telah sempat menyiapkan pasukan di tempat-tempat pengadangan. Didalam Istana Majapahit sekarang timbul kesulitan yang harus dihadapi Majapahit terhadap pasukan Tartar. Dalam Kidung Wijayakrama dikisahkan bagaimana sikap yang harus diambil jika tentara Tartar menagih janji 2 orang putri Tumapel sebagai hadiah kepada Kaisar Tartar.

Ketika Arya Wiaraja menanyakan hal tersebut semuanya terdiam, tidak berani menjawab. Ken Sora mengemukakan pendapat bahwa tidak baik memungkiri janji yang telah disepakati. Kemudian Ranggalawe bersuara lantang sesuai dengan wataknya “ Jangan takut sang prabu, itu hanyalah soal kecil. Jika kita harus melawan kami bersedia mati sebagai pahlawan.

Jika paduka takut berperang tidaklah masih layak hidup di dunia. Ucapan Ranggalawe yang lantang tersebut membangkitkan semangat dan tekat semua yang hadir, semua setuju dan bersedia mati untuk sang Raja. Akhirnya utusan Tartar telah datang dengan 200 orang pengiring lengkap dengan senjata dan menyerahkan surat untuk menagih janji. Setelah surat dibaca Ken Sora memberitahukan bahwa orang Majapahit tidak akan mengingkari janji yang telah disepakati tersebut.

Namun demikian putri Singhasari tersebut sangat miris kalau melihat senjata karenanya putri bisa pingsan. Oleh karena itu simpanlah baik baik senjata kalian dalam bilik yang terkunci dan beritahukan kepada pasukan pengawal yang akan menjemput tuan Putri untuk tidak membawa senjata. Utusan kemudian kembali membawa pesan Ken Sora kepada kepala Pasukan. 300 orang Tartar kemudian datang menjemput tuan Putri, para pengawal dibawa masuk ke balai panjang untuk di jamu, para wanitanya dibawa oleh Arya Wiraraja kedalam istana.

Ketika mereka sedang berpesta dengan serta merta pasukan Majapahit menyerang mereka. Banyak diantara mereka yang terbunuh, yang selamat kemudian ditawan. Pada tanggal 19 April 1293 Raden Wijaya kemudian menyerang tentara Mongol yang sedang berpesta di Daha dan Canggu. Penyerangan tersebut dari arah utara dan selatan. Kota Kediri telah dikepung, sambil menangkis serangan dari arah selatan mereka bergerak menuju arah utara mendekati pantai tempat armadanya. Namun dari arah utarapun diserang juga sehingga tentara Tartar yang terdesak kemudian berbelok kearah barat .

Pasukan Tartar yang masih tersisa tidak menyadari bahwa Raden Wijaya akan bertindak demikian Ike Mese memutuskan mundur setelah kehilangan 3.000 orang tentaranya. Betapa hebatnya serangan Wijaya ini dapat kita perkirakan dari laporan lain yang menyebutkan, bahwa Shih-pi sampai terputus dari pasukan yang lain. Ini berarti bahwa daerah sepanjang jalan antara Kediri dan Ujunggaluh benar-benar dikuasai oleh pasukan dan rakyat Desa Majapahit. Shih-pi yang meninggalkan Kediri beberapa hari kemudian dan terputus dari pasukan yang lain terpaksa harus dengan bertempur membuka jalan menuju Pacekan dan Ujunggaluh yang dicapainya dengan susah-payah.

Untuk mencapai kapal-kapalnya di muara sungai ia harus bertempur sepanjang jalan kira-kira 300 li, kira-kira 100 km. Ia kehilangan lebih dari 3000 orang tewas dalam pertempuran ini. Ini dapat dibayangkan, bagaimana jalan pertempuran dan mengapa Shih-pi terpaksa harus menelan kekalahan. Kalau Kau Hsing yang memimpin divisi infanteri dengan pasukan perintisnya yang terlatih dapat mematahkan serangan Wijaya, maka pasukan berkuda Tartar yang berada dalam devisi Shih-pi merupakan makanan empuk bagi pasukan panah Majapahit, belum lagi kalau kuda-kuda ini dipancing masuk rawa-rawa maka orang-orang di atas kuda ini merupakan sasaran yang baik bagi anak panah Majapahit.

Tiga ribu orang yang tewas ini kira-kira sabagian besar adalah dari kavaleri. Shih-pi rupa-rupanya dengan tergesa-gesa masuk kapal, karena ia dikejar oleh pasukan Wijaya sampai dekat Pacekan, di Tegal Bobot Sari. Dari sini ia berlayar selama 68 hari kembali ke Cina dan mendarat di Chuan-chou. Kekekalahan bala tentara Mongol oleh orang-orang Jawa hingga kini tetap dikenang dalam sejarah Cina. Sebelumnya mereka nyaris tidak pernah kalah di dalam peperangan melawan bangsa mana pun di dunia.

Selain di Jawa, pasukan Kublai Khan juga pernah hancur saat akan menyerbu daratan Jepang. Akan tetapi kehancuran ini bukan disebabkan oleh kekuatan militer bangsa Jepang melainkan oleh terpaan badai sangat kencang yang memporakporandakan armada kapal kerajaan dan membunuh hampir seluruh prajurit di atasnya. Expedisi Tartar meninggalkan Pulau Jawa.

Setelah para panglima kembali berkumpul di Ujunggaluh, maka dalam perundingan diputuskan untuk kembali saja, karena tugas menghukum raja Jawa telah selesai, dan tidak ada gunanya untuk meneruskan pertempuran, karena mereka tak mengenal keadaan medan, mereka dapat terrpancing masuk rawa-rawa, di mana mereka tak bisa bergerak dan dengan mudah diserang oleh orang-orang Majapahit. Kiranya selain itu mereka juga memperhitungkan keadaan angin yang pada akhir bulan Mei biasanya sudah mulai meniup ke Barat (angin timur) dengan tetap.

Selama kira-kira tiga bulan. Untuk bisa cepat sampai di Cina mereka harus segera berangkat, kalau mereka tidak ingin menjumpai rintangan berupa taifun atau angin yang tidak menentu. Maka mereka dapat sampai di Chuang Chou setelah 68 hari meninggalkan Jawa. Juga kemungkinan kejangkitan wabah mereka perhitungkan. Kalau mereka lebih lama berada di rawa-rawa di muara sungai ini, dikuatirkan akan bertambahnya korban disebabkan oleh malaria dan penyakit lain.

Maka diputuskan lebih baik kembali daripada menderita lebih banyak kerugian, untuk menghindari kegagalan total, karena tidak mengenal medan, penyakit dan kehancuran oleh tifun di laut. Menjelang akhir bulan Maret, yaitu di hari ke-24, seluruh pasukan Mongol kembali ke negara asalnya dengan membawa tawanan para bangsawan Singhasari ke Cina beserta ribuan hadiah bagi kaisar.

Sebelum berangkat mereka menghukum mati Jayakatwang dan anaknya sebagai ungkapan rasa kesal atas ‘pemberontakan’ Raden Wijaya. Kitab Pararaton memberikan keterangan yang kontradiktif, disebutkan bahwa Jayakatwang bukan mati dibunuh orang-orang Mongol melainkan oleh Raden Wijaya sendiri, tidak lama setelah ibukota kerajaan Kadiri berhasil dihancurkan.

Demikianlah tentara tartar tidak sempat mengatur siasat dan kehilangan begitu banyak tentaranya akhirnya meninggalkan Jawa tanggal 24 April 1293, dengan membawa pulang lebih dari 100 orang tawanan, peta, daftar penduduk, surat bertulis emas dari Bali, dan barang berharga lainnya yang bernilai sekitar 500.000 tahil perak. Ternyata kegagalan Shih Pi menundukkan Jawa harus dibayar mahal olehnya.

Ia menerima 17 kali cambukan atas perintah Kublai Khan, seluruh harta bendanya dirampas oleh kerajaan sebagai kompensasi atas peristiwa yang meredupkan kebesaran nama bangsa Mongol tersebut. Ia dipersalahkan atas tewasnya 3.000 lebih prajurit dalam ekspedisi menghukum Jawa tersebut. Selain itu, peristiwa ini mencoreng wajah Kublai Khan karena untuk kedua kalinya dipermalukan orang-orang Jawa setelah raja Kartanegara melukai wajah Meng Chi.

Namun sebagai raja yang tahu menghargai kesatriaan, tiga tahun kemudian nama baik Shih Pi direhabilitasi dan harta bendanya dikembalikan. Ia diberi hadiah jabatan tinggi dalam hirarkhi kerajaan Dinasti Yuan yang dinikmatinya sampai meninggal dalam usia 86 tahun.
Tentara Tartar meninggalkan jawa setelah diserang oleh tentara Majapahit Setelah kekalahan tentara mongol di Jawa karena siasat Raden Wijaya, Kubilai Khan tidak mengirimkan pasukan lagi ke AsiaTenggara. Hal tersebut dikarenakan dinasti Yuan sedang konsentrasi di dalam Negeri termasuk membangun ibukota khanbalik. pembangunan ibukota Khan balik ini yang membuat Mongol menjadi berunbah ada yang mengatakan menjadi lemah karena asalnya Mongol adalah suku pengembara.

pada tahun 1297 Raden Wijaya mengirim utusan ke Beijing untuk berdamai. Kublai Khan senang dan tidak lagi menuntut raja Jawa datang ke Beijing. Akhirnya cita-cita Raden Wijaya untuk menjatuhkan Daha dan membalas sakit hatinya kepada Jayakatwang dapat diwujudkan dengan memanfaatkan tentara Tartar.

Raden Wijaya kemudian memproklamirkan berdirinya sebuah kerajaan baru yang dinamakan Majapahit.


RAJA RAJA MAJAPAHIT

Raden Wijaya adalah pendiri kerajaan Majapahit tahun 1293 setelah berhasil mengalahkan Prabu Jayakatwang dari Kerajaan Kadiri dan berhasil memukul mundur pasukan Mongol dari tanah Jawa.

Untuk menggambarkan bagaimana pemerintahan Majapahit pada jaman pemerintahan Raden Wijaya dan Raja Raja selanjutnya berikut akan diutarakan terlebih dahulu Nama Raja – Raja yang memerintah dari tahun berdirinya Majapahit sampai berakhirnya kerajaan tersebut yang ditandai dengan tahun Candrasengkala yaitu Senja Ilang Kertaning Bumi.






  1. Raden Wijaya, bergelar Kertarajasa Jayawardhana (1293 - 1309)
  2. Kalagamet, bergelar Sri Jayanegara (1309 - 1328)
  3. Sri Gitarja, bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328 - 1350)
  4. Hayam Wuruk, bergelar Sri Rajasanagara (1350 - 1389)
  5. Wikramawardhana (1389 - 1429)
  6. Suhita (1429 - 1447)
  7. Kertawijaya, bergelar Brawijaya I (1447 - 1451)
  8. Rajasawardhana, bergelar Brawijaya II (1451 - 1453)
  9. Purwawisesa atau Girishawardhana, bergelar Brawijaya III (1456 - 1466)
  10. Pandanalas, atau Suraprabhawa, bergelar Brawijaya IV (1466 - 1468)
  11. Kertabumi, bergelar Brawijaya V (1468 - 1478)
  12. Girindrawardhana, bergelar Brawijaya VI (1478 - 1498)
  13. Hudhara, bergelar Brawijaya VII (1498-1518)

Perhatikan bahwa terdapat periode kekosongan antara pemerintahan Rajasawardhana (penguasa ke-8) dan Girishawardhana yang mungkin diakibatkan oleh krisis suksesi yang memecahkan keluarga kerajaan Majapahit menjadi dua kelompok.
>setyo.kridho@facebook.com

Minak Jinggo dan Damar Wulan



Konon disebutkan bahwa pada masa pemerintahan Majapahit yang dipegang oleh Ratu Ayu Kencana Wungu (Suhita) terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh Minak Jinggo (Bhre Wirabumi). Pokok persoalan pemberontakan tersebut adalah karena Minak Jinggo ingin memperistrikan Ratu Ayu Kencana Wungu tetapi ditolak karena wajah Minak Jinggo seperti raksasa.
Hampir saja Minak Jinggo memperoleh kemenangan karena ia sangat sakti sebab memiliki senjata yang disebut gada wesi kuning. Akhirnya Ratu Kencana Wungu membuka sayembara barangsiapa yang dapat mengalahkan Minak Jinggo akan memperoleh hadiah yang luar biasa.

Tersebutlah seorang ksatria putra seorang pendeta bernama Raden Damarwulan yang memasuki arena sayembara. Dalam peperangan dengan Minak Jinggo hampir saja Damarwulan dapat tersingkir. Akan tetapi atas bantuan dua orang selir Minak Jinggo yang bernama Dewi Waita dan Dewi Puyengan akhirnya Minak Jinggo dapat dikalahkan. Selanjutnya Dewi Waita dan Dewi Puyengan menjadi istri Damarwulan. Sebagai imbalan atas kemenangan itu maka Damarwulan akhirnya menjadi suami Ratu Ayu Kencana Wungu dan bersama-sama memerintah di Majapahit.

Cerita Damarwulan-Minak Jinggo ini rupa-rupanya sangat populer di Jawa Tengah terlebih-lebih di Jawa Timur. Hingga sekarang kita masih dapat melihat peningggalan tersebut dalam bentuk makam kuno yang terletak di Desa Troloyo, Trowulan, Mojokerto. Di sana kita jumpai suatu kompleks makam yang oleh penduduk dianggap sebagai makam Ratu Ayu Kencana Wungu. Dewi Waita dan Dewi Puyengan serta beberapa orang pengikutnya. Makam tersebut menurut penelitian para ahli yang sebenarnya adalah makam-makam Islam yang awal. Dari angka tahunnya yang tertulis pada nisan-nisan menunjuk angka 1295 M - 1457 M.

Tidak jauh dari Troloyo, masih di Desa Trowulan juga kita jumpai sebuah candi yang oleh penduduk setempat dinamakan candi Minak Jinggo. Melihat berbagai hiasan serta peninggalan lain yang terdapat di sekitar candi tersebut dapat diperkirakan bahwa candi Minak Jinggo berasal dari zaman Majapahit.

Jumat, 07 September 2012

Sutradara setyo kridho budoyo

Dalam setiap pementasan yang di lakukan oleh para seniman Setyo Kridho Budoyo, Pembagian aktor dan aktris di pecayakan kepada Sutradara, yaitu DANANG SUBAKRUN yang di bantu oleh Asst Sutradara yaitu SETYO WIRAWAN.
Tugas dari Sutradara dan asstnya adalah menyusun Cerita yang akan di tampilkan dan setiap pagelaran,sukses dan tidaknya pagelaran menjadi tanggung jawab dari Sutradara dan Asstnya yang juga harus mengetahui bagaimana karakter dari para crew/seniman yang akan membawakan cerita tersebut.Untuk itulah beban berat di pikul oleh Sutradara dan asstnya.
Dalam setiap cerita yang akan di bawakan terdiri bermacam-macan karakter/watak dari yang akan di perankanya,disini pengawalan cerita dan Brefing kepada semua crew harus di lakukan oleh Sutradara dan Asstnya.untuk itu kadang para crew bisa istirahat/tidur sejenak,namun Sutradara dan Asstnya tidak bisa .Karena rasa Tanggung jawab untuk mensukseskan cerita dalam pagelaran semalam suntup.
Walaupun tugas sutradara di "SETYO KRIDHO BUDOYO" berat namun,dalam menyusun cerita selalu berkoordinasi dengan semua crew,demi untuk menghasilkan susunan adegan demi adegan yang akan di tampilkan.Sehingga tersusun dan terencana dengan baik dan menghasilkan sebuah cerita yang bagus.
Jadi dalam penyampaian cerita yang akan di ceritakan bisa diterima dengan baik oleh para seniman/crew SKB.Baik itu aktor/aktrisnya,Dekoratornya,dan crew Tekhniknya.Semua bekerjasama dalam satu team untuk mensukseskan pagelaran.
Demikian sedikit tentang team/crew "SETYO KRIDHO BUDOYO"

By Fsk

Senin, 27 Agustus 2012

Rowo Pening

Ngasem yaiku salah siwijining desa ing wilayah Kecamatan Ambarawa. Ing desa Ngasem biyen ana pasraman utawa pandhepokan kang ngajarake olah batin utawa nyedakake awak marang Gusti Kang Maha Agung lan olah kanuragan gawe jaga awak supaya tetep sehat. uga bisa digunakake gawe sarana bela diri.
Padhepokan ing Ngasem nduweni daya tarik dening masyarakat sekitare. Gawe sarana nuntut ilmu kanggo bekal urip ing donya lan akhirat. Kahanan ing padhepokan Ngasem ayem tentrem gawe wong-wong kang padha manggon ing kono padha krasan.
Kabeh “Puthut” (murid lanang) utawa “Endang” (murid wedok) krasa bungah entuk bimbingan saka guru kang jenengane Salokantara. Dheweke salah siwijine guru kang bijak lan nguwasai kabeh ilmu kang dibutukake ing donya lan akhirat.
Sawijining dina Ni Endang Ariwulan kang nduweni rupa ayu bingung nggoleki peso kanggo nyigar pinang. Wis digoleki mrana-mrene nanging tetep ora ketemu, kamangka isih akeh gawean kang kudu dirampungake. Kepeksane ora ketemu, Ariwulan diwani-wanikake nyileh peso simpenane Ki Hajar Salokantara kanggo nyigar pinang, gawe ramuan sesajen kang arep disiapake kanggo mengko bengi.
Ki Hajar kaget krungu panyuwunne Ariwulan. Nanging Ki Hajar tetep  nyilehake peso simpenane kanthi weling,
“peso iki peso simpenanku kang arang banget tak gunakake, kowe kudu ati-ati aja nganti keliru olehmu gunakake. Peso iki aja nganti kok selehake ana pankonmu.”
Sawise ngiyani pesene Ki Hajar, Ariwulan nampani pesone lan digunakake kanggo nyigar pinang. Saking akehe gawean Ariwulan lali nyelehake peso ana ing pangkone. Peso mau ujug-ujug ilang.
Ni Endang Ariwulan wedi lan ndhredheg. Dheweke banjur ngadhep lan matur marang Ki Hajar Salokantara,
 “kula nyuwun pangapunten Ki Hajar, kula kesupen marang welingipun Ki Hajar. Kula ndekekaken peso wau wonten pangkon kula.”
Ki Hajar Salokantara meneng sauntara, nanging atine kepengin nesu lan pengen ngamuk. Sawise ambegan dawa, rasa pengin nesu lan pengin ngamuk mau rada ilang.
“Ariwulan….saiki terusana wae gaweanmu supaya cepet rampung” kandane Ki Hajar kanthi sareh.
“Boten Ki….kula sampun nglalikaken welingipun Ki Hajar. Mangga panjenengan ngukum kula Ki…”
Nanging ndelokake kejujuran Ni Endang Ariwulan, Ki Hajar ora tegel ngukum. Acara ritual kang biasa dilakoni ing Desa Ngasem kanthi ngundang para warga klakon kanthi lancar lan hikmad ora ana alangan apa-apa.
Let pirang dina Desa Ngasem gempar amarga ana kabar yen Ariwulan meteng. Saya suwe wetenge Ariwulan saya gedhe. Ki Hajar Salokantara banjur  ngundang Endang Ariwulan.       
     “Ariwulan reneya”
    “Inggih Ki…..”
    “Wulan….aku ora arep nyeneni kowe, nanging ana sing arep tak     omongke karo kowe. Kaping pisan, aku duwe niat arep tapa brata ing gunung Telamaya. Kaping pindho, iki gentha utawa klinthingan gawanen, moga-moga besuk bisa kanggo gawe anak sing lagi ana ing wetengmu saiki.”
    “Ki Hajar, menapa kula angsal dherek?”
    “Ora usah….kowe tetep ana kene wae ing Desa Ngasem kene. Sabar lan tetep donga marang Gusti supaya tetep tabah lan kuat ngadhepi cobaan ing donya iki.”
    Ki Hajar Salokantara banjur mangkat ing gunung Telamaya. Ariwulan sedih banget amarga ditinggal Ki Hajar.
    Sawijining dina Ariwulan nglairake anak. Warga Ngasem padha geger amarga ngerti yen Endang Ariwulan ora nglairake jabang bocah nanging jabang naga. Kahanan sansaya gempar amarga jabang naga mau bisa nangis lan ngomong kaya manungsa. Warga padha ngece marang Ariwulan. Nanging Ariwulan tetep sabar lan tabah ngadhepi kabeh mau.
    Senadyan wujud lan kahanane anake beda karo liya-liyane, “wingka katon kencana.” Anak kang awujud naga mau tetep dirumati lan digemateni. Nalika gedhe, warga desa Ngasem padha ngece anake Ariwulan. Omongane warga marakake panase kuping. Anake diunekake anak haram, anak jadah sing bapake ora jelas lan sapanunggalane.
    Sang Naga banjur takon marang ibune, “Bu,sabenere sinten asmanipun bapak kula lan sakmenika wonten pundi?”
    Ariwulan banjur cerita, “Bapakmu dudu wong sembarangan, bapakmu yaiku Ki Hajar Salokantara. Bapakmu saiki lagi tapa brata ana gunung Telamaya”
    “Menawi mekaten punapa kula angsal mrika, Bu.”
    “Mengko disek ngger, yen pancen kowe kepengin ketemu tenan karo bapakmu, gentha utawa klinthingan iki gawanen ngger….weruhna bapakmu.”
    “Lha wonten punapa Bu, kok kula kedah beta gentha utawa klinthingan niki?”
    “Kuwi biyen sing menehi bapakmu, gawana lan weruhake. Wektu ing dalan mengko gentha utawa klinthingan iki kerep-kerep unekake.”
    Sang Naga banjur pamit lan njaluk restune ibune arep goleki bapake.     Ibune pesen marang sang naga, “ngger, kowe lewat dalan banyu wae supaya lakumu cepet tekan.”
    “Inggih, Bu”
Ariwulan ngetutake anake saka kadohan. Supaya anake ora ngerti yen ditutake.
    Lakune Sang Naga ing Desa Ngasem nglewati kali yaiku Kali Panjang. Sawise mlaku adoh banget, Sang Naga leren ing ngisor watu jenenge Watu Sisik. Nyambi leren Sang Naga tapa supaya cepet klakon apa kang dituju. Lelakune diterusake maneh nganti tekan “Ngambah Rawa” utawa nglewati rawa-rawa. Sawise kuwi Sang Naga nglewati Kaligung. Sang naga kesel lan leren maneh ing watu jenenge Selo Gombak (sebelah wetane Desa Dengkel).
    Ing lelakune lan pangembarane, gentha utawa klinthingane diunekake terus kanggo nambani rasa kangene marang ibune lan supaya bapake krungu menawa bapake ana ing sekitare dheweke. Warga desa kang dilewati Sang Naga dadi geger krungu swara klinthingan. Sawise padha digoleki jebule suara kuwi asale saka kali lan saka ula gedhe utawa naga kang nggunakake klinthingan ing kuping (sumping). Amarga kuwi Sang Naga dikenal dadi Bra Klinthing. Sing akhire dikenal dadi Baru Klinthing.
    Pirang-pirang taun suwene Sang Naga nggoleki bapake nanging tetep ora ketemu. Baru Klinthing nesu lan wis wegah nggoleki bapake maneh. Nanging wektu kahanan kaya ngana  kuwi Baru Klinthing rada-rada krungu swara “kidung”. Suara kuwi jebule swarane Ariwulan, ibune Baru Klinthing.
    Baru Klinthing semangat maneh nggoleki bapakke. Saka Selo Gombak Baru Klinthing nglewati dalan darat utawa lemah munggah gunung Telamaya goleki pertapane Ki Hajar Salokantara.
    Saka kadohan Ariwulan ngerti yen anake wis nemukake pertapane bapake. Ariwulan banjur medhun lan manggon ing salah siwijining desa yaiku Desa Sepakung. Amarga rupane Ariwulan kang ayu banget, ing Desa Sepakung dadi omongan warga. Ariwulan milih manggon ing cedhak sendhang. Saya suwe rupane Ariwulan saya ayu. Para warga khususe sing wadon-wadon padha kepengin kenal akrab marang Ariwulan lan padha kepengin melu adus lan semedi ing pinggir sendhang. Kaya sing dilakoni Ariwulan. Sendhang kuwi banjur dijenengi sendhang Ariwulan.
    Ing pertapan Telamaya, Ki Hajar Salokantara kaget amarga weruh naga ana ngarepane. Naga mau nundhuk-nundhuk kaya-kaya ngormati Ki Hajar.     Naga mau ngomong marang Ki Hajar Salokantara, “Ki….napa kula angsal tangklet?”
    Ki Hajar Salokantara sawise krungu suara mau kaget banjur ngadeg, “apa bener kowe sing ngomong?”
    “Inggih Ki, kula badhe tangklet kaliyan panjenengan?”
    “O…”
    Ki Hajar Salokantara banjur nangis lan sawise tenang banjur nakoni maneh naga mau, “hai taksaka Gung, arep takon apa?”
    “Saderengipun nyuwun pangapunten nggih, sampun ngageti panjenengan.”
    “Ora, ora…. Kowe ora salah kok. Apa sing arep kok takokake marang aku?”
    “Napa leres mriki dhaerah gunung Telamaya?”
    “Iya bener ngger, kene Gunung Telamaya”
    “Ingkang dipun sebat pertapan gunung Telamaya punika pundi, Ki?”
    “Pertapan Telamaya kuwi ya kene iki, ana perlu apa ngger goleki pertapan Telamaya?”
    “Napa leres panjenengan ingkang asamipun Ki Hajar Salokantara?”
    “Iya ngger …lha kowe kok bisa ngerti jenengku dikandani sapa?”
    “Dados panjenengan leres Ki Hajar Salokantara?”
    “Iya ngger kowe ora keliru.”
    “Menawi ngoten panjenengan tiyang sepuh kula…panjenengan bapak kula, Ki.”
    Baru Klinthing bungah banget bisa nemukake bapake. Banjur Baru Klinthing nundhuk-nundhukake sirahe.
    “Sek ngger, kowe kok bisa ngaku-ngaku dadi anakku ki kepriye ceritane?”
    “Nggih pak, kula pancen putranipun panjenengan.”
    “Yen pancen bener kowe ki anakku, sapa jenenge ibumu lan manggone ana ngendi?”
    “Ibu asmanipun Ariwulan, lan manggen wonten Desa Ngasem.”
    “Kowe aja tambah ngapusi aku, ngaku-ngaku anake Ariwulan, kowe ngerti Ariwulan ki sapa?”
    “Ariwulan menika murid padhepokan Ngasem.”
    “Bener ngger, kowe mrene iki apa sing menehi ngerti ibumu ngger ?”
    “Inggih pak, kula diparingi gentha utawa klinthingan niki supados ditinggalaken dhateng bapak kagem prathanda menawi kula menika leres putranipun panjenengan.”
    Ndelokake gentha utawa klinthingan mau, Ki Hajar kelingan rikala jaman biyen. Ki Hajar sedhih banget, apa maneh anakke Ariwulan awujud naga. Ki Hajar ora bisa mbayangake kaya ngapa nelangsane lan susahe Ariwulan sawise ditinggal dheweke. Atine nggregel lan nangis mbayangake pangorbanan kang gedhe lan tulus saka ibu marang anakke, sanajan anakke awujud naga.
    “Ngger…senadyan kowe bisa nggawa klinthingan iki, kang biyen tak wenehake ibumu Ariwulan, kuwi durung cukup ngger….ing donya iki ora ana kang kaleksanan kekarepane tanpa pangorbanan. Kabeh kuwi kudu ana tebusane. Tebusan sing tak jaluk yaiku “laku”. Yen pancen kowe bener-bener anakku lan ibumu jenenge Ariwulan murid padhepokan Ngasem, mestine kowe ngerti kang diarani “laku larak brata”. Kowe tapanen ngger…!!!”
    “Laku napa ingkang kedah kula laksanakaken?”
    “Sisih lor kana kae ana Gunung Kendhil. Tapa bratana ana kana. Ubengana utawa nglekerana gunung kae nganti tepung gelang.”
    Baru Klinthing banjur nglaksanakake prentahe Ki Hajar Salokantara supaya dheweke bisa diakoni anak. Ki Hajar Salokantara ngetutake saka mburi. Baru Klinthing ngubengi Gunung kendhil mau. Jebule antarane sirah lan buntut ora bisa gathuk utawa durung tepung gelang, isih kurang sakilan. Baru Klinthing nyiasati meletake ilate supaya gathuk karo buntute. Ki Hajar Salokantara weruh banjur ilate Baru Klinthing dikethok.
“Ngger, kowe ora entuk nutupi kekuranganmu nganggo ilatmu kuwi. Ngertiya ngger…ilatmu kuwi pusaka sing paling hebat ora ana tandingane. Wong Jawa ngomong
ilat jembare mung sawelat
nanging darbe khasiyat
yen pinuju nuju prana
bisa hamemikat
yen tan pener
bisa gawe getering jagad
saiki terusake maneh anggonmu tapa nganti apa kang dadi panyuwunku keturutan.”
Tugelan ilate Baru Klinthing digawa Ki Hajar lan didadekake tombak jenengane “Kyai Baru Kuping”.
    Wis pirang-pirang taun olehe Baru Klinthing tapa. Nganti awake Baru Klinthing ora ketok maneh. Awake nganti lumuten lan wes akeh wit-witan kang thukul lan wis gedhe-gedhe.
    Ni Endang Ariwulan kanthi sabar nunggoni Baru Klinthing tapa. Ibune mung bisa ndonga marang Gusti supaya apa sing dadi panyuwune Baru Klinthing cepet kaleksanan.
    Sawijing dina Ariwulan weruh Ki Hajar Salokantara nemoni dheweke.     Ariwulan banjur ngaturake sembah marang ki Hajar, “wonten napa Ki Hajar rawuh mriki?”
    “Wulan…aku kepengin ngerti kahananmu saiki.”
    “Matur Sembah nuwun Ki, kula sehat-sehat mawon. Wonten mriki tangga tepalihipun sampun kados keluarga piyambak. Sami sae sedaya kok, Ki. Kathah ibu-ibu lan lare-lare wadon ingkang asring mriki badhe ndherek siram wonten sendhang niki.”
    “Yo syukur yen ngana, kowe ora usah sewu-suwe manggon ana kene amarga anakmu Baru Klinthing wis arep bebas. Kowe mudhuna dhisik meyang Desa Pathok. Kanthi laku “tapa ngrame” kanggo sarana methuk anakmu kang wus dadi manungsa sempurna.”
    Ariwulan bungah banget krungu kabar saka Ki Hajar Salokantara. Ariwulan banjur cepet-cepet mudhun ninggalake Desa Sepakung tumuju Desa Pathok.
    Desa Pathok kalebu wilayah perdhikan kabuyutan Banyubiru. Ing Desa kang loh jinawi iki wargane padha makmur, kabeh kebutuhan kecukupan. Nanging ing kono wargane ora padha duwe rasa syukur marang Gusti malah isih padha takabur. Pakulinan kang ora apik miturut agama isih wae dilakoni. Contone ngombe arak, maen kertu, ledhekan lan sakpanunggalane.
    Desa Pathok arep ngadhakake pesta sawise panen. Warga padha repot dhewe-dhewe kanggo nyiapake pesta. Ana kang ngresiki lan nata banjar desa. Nonomane padga nggolek kewan ana alas. Wis sedina nonoman ana alas nanging ora entuk apa-apa. Nonoman banjur padha leren amarga padha ngeleh lan ngelak. Nyambi padha lungguhan lan guneman pakulinan mamah suruh ora dilalekake. Nanging wektu arep nyigar pinang kanggo ramuan mamah suruh, nanging ora ana panggonan kanggo landhesan. Banjur salah siwijine nonoman mau nggolek landhesan. Dheweke nemokake kayu kang warnane ireng banget lan katon tuwa banget. Pinang mau disigar ana dhuwur kayu. Ora nyana kayu kang gawe nyigar pinang mau ngetokake getih. Dheweke banjur mbacok-mbacok kayu mau. Kancane kabeh padha diundang amarga dheweke percaya getih mau metu saka awake kewan. Kewan kuwi jebule ula gedhe kang ngubengi gunung ora liya yaiku Baru Klinthing.
    Nonoman mau padha bungah lan cepet-cepet nggawa dhaging kewan mau meyang banjar. Wektu wong-wong padha repot ngurusi dhaging mau, ana salah siwijine nonoman kang ngetutake tekan banjar. Rupane bagus lan gagah nanging awake katon reget banget. Nom-noman mau jelmaane Baru Klinthing.
    Ing banjar, desa warga padha ngaso lan padha mangan. Nonoman mau nyedhak lan arep njaluk mangan, nanging ora ana sing gelem menehi.
    “Nuwun sewu, punapa kula angsal nyuwun maeme?”
    “Ora entuk, kana lunga !!!”
    “Kula ngelih pak, nyuwun  sekedhik mawon…”
    “Kowe krungu apa ora !!! Neng kene ora nggone wong gembel lan wong ngemis kaya kowe. Kana lunga ! marake ora napsu mangan. Yen ora lunga-lunga tak gebugi.”
    Nonoman mau mung meneng lan isih tetep ana kana.
    “Kanca-kanca ayo usir wong kuwi lan gebugi bareng-bareng wae!”
    Nnoman mau akhire lunga ninggalake banjar.
    Kendurenan lan pesta wis mulai ing plataran banjar. Lanang, wadon, nom, tuwa, gedhe lan cilik padha kumpul kabeh. Padha mangan bareng-bareng. Kahanane rame banget. Kahanan sansaya rame sawise gamelan mulai dithuthuk.
    Beda ceritane karo wong tuwa kang lagi ngadhuk sega ana ing salah siwijining gubug ing pojokan desa. Dheweke krasa mesakake sawise weruh ana nonoman bagus lan gagah nanging katon reget lan lemes njaluk pangan.
    “Mbok, punapa kula angsal nyuwun maeme, kula sampun ngelih sanget?”
    “ O….mrene-mrene mlebu dhisik ngger lan lungguha neng klasa kana!”
    “Inggih, mbok matur suwun.”
    Nonoman mau banjur diwenehi mangan karo mbok tuwa mau. Mbok tuwa iku jebule Ni Endang Ariwulan.
    “Ngger, jenengmu sapa lan omahmu ngendi?”
    “Tiyang-tiyang sami ngundang kula Jaka Badung mbok, kula saking gunung Telamaya”
    “Apa….!!! Jaka Badung saka Telamaya?”
    “Inggih mbok, wonten punapa mbok kok sajakke kaget ?”
    “Ora…. ora kok, ngger”
    Ariwulan kelingan omongane Ki Hajar Salokantara, dheweke mbatin, “ apa iki anakku”
    Mbok tuwa mau nangis.
    “Wonten napa mbok kok panjenengan nangis?”
    “Ora ana apa-apa, ngger…”
    “Mbok desa mriki niki naminipun desa napa lan kok wonten rame-rame wonten mrika niku napa ta mbok?”
    “Desa iki jenenge Desa pathok, rame-rame ana kana kae yaiku para warga desa padha pesta ngrayakake bubar panen gedhe lan tiap taune ana kaya ngono kae.”
    “Lemah wonten mriki subur sanget nggih mbok, tiyang-tiyang sami panen kathah nggih mbok?”
    “Iya ngger, wong-wong kene ki padha sugih-sugih kejaba simbok iki.     Saben dina mung mangan sega sithik, yen wis kenteken sega yo mangan tela. Kadhang simbok malah ora mangan, ngger…”
    “Simbok piyambakan wonten mriki ?”
    “Iya, ngger…”
Sakbubare mangan lan guneman karo simbok, Jaka Badung pamitan lan pesen marang simbok, “mbok, kula badhe ningali rame-rame ing banjar desa, menawi mangke mireng swara gemrudug saking arah banjar, simbok mang numpak lesung lan mbeta enthong niki. Sampun nggih mbok kula pamit rumiyin.”
    Jaka Badung tumuju ing banjar desa. Dheweke arep njaluk panganan nanging ora diwenehi malah diece lan diusir.
    Jaka Badung nesu lan ndudut sada saka pinggange banjur ditancepake sada mau ing plataran banjar.
    “Sapa sing bisa njabut sada iki berarti pancen kuat tenan, prakosa lan sekti mandraguna. Bakal tak sembah ping pitu lan aku uga bakal lunga saka kene.”
    Kabeh wong sing ana kana wis njajal njabut sada mau, nanging siji-sijia ora ana sing bisa njabut. Akhire Jaka Badung dhewe sing njabut. Sabubare sada mau dijabut suara gluduk nyamber-nyamber, bumi gonjang-ganjing, bendhungane padha jebol lan banjir bandang. Kabeh bangunan sak isine padha keli.
    Lemah kang nemplek ing sapucuking sada sing dikipatke marang Jaka Badung mencelat ngalor lan dadi bukit jenenge Kendhaling Sada utawa Kendhalisada.
    Krungu suara gemrudug saka arah banjar, simbok langsung numpaki lesung lan nggawa enthong kanggo dhayung. Saya suwe banyu saya dhuwur lan saya deres. Simbok mau nangis kelingan omongane anake, “Ibu, geni salumahing bumi, bisa weh pepadhang lan pepati.”
    Saiki ana sawijining tlaga bening kang bisa gawe ngaca lan bisa menehi kauripan anyar. Tlaga iku yaiku RAWA BENING utawa RAWA PENING.



By setyo kridho

Kanjeng Sunan KUDUS

Sunan Kudus kuwi asline ora saka Kudus. Dheweke teka saka Jipang Pamelang (ana sing  ngarani sisih lor Bloro), adone 25  kilometer  saka arah  kulan kutha Kudus,  Jawa Tengah.  Ing kono  dheweke dilahirake,  lan diwenehi jeneng Ja’far Shodiq. Dheweke yaiku ana saka Sunan Udung utawa Raden Ja’far Shodiq. Dheweke yaiku anak saka sunan undung  utawa (Raden Usman Haji) karo Syarifah, putune Sunan Ampel. Samangso  kesuwure Sultan Undung kesuwur Panglima Perang sang gagah.
Nganti sauntara wektu, Sunan Undung mati sajerone perang antarane Demak lan Majapahit. Sawise iku, Ja’far Shodiq  nganti palungguhane bapake. Tugas sing paling baku yaiku ngalahke laladan Kraton Majapahit kanggo ngambakake panguwasa Demak. Kasunyatan Ja’far Shodiq bisa mboktekake ing laladan perang, ora kalah saka kepinterane bapake
Ja’far Sodiq kasil ngembangake Kerajaaan Demak, nganti tekan Madura, lan tekan sisih  kulon nganti Cirebon.
Ja’far Shodiq kelakon sembarake  laladan Kraton Demak, Megetan  nganti Madura, lan ngulon  nganti Cirebon. Kasil iki banjur nyebabake macem-macem crita kadigdayane Ja’far Shodiq.  Contone sadurunge perang Ja’far Shodiq diwenehi  badhong  bangsane rompi karo Sunan Gunung Jati. Badhong iku di gowo mubeng-mubeng  sajerone perang.
                “Ngger enggone badong iki kanggo ngayomi awakmu yen kowe perang,” kandane sunan Gunung Jati.
Iki badhong sekti ojo nganti  bodong  iki kok ilangake  iki badhong wasiat, mengko saben kowe nggunakake badhong iki  mesthi bakal ana keajaiban  sing kodelok.
                “Inggih matur nuwun  Sunan, kula badhe ngginakake badhong punika kanthi  sae  lan badhe kula rumat. Kula nyuwun  pamit saha nyuwun pangestune Sunan Gunung Jati, supados anggenipun kula kesah diparingi  keselametan.”
                “Iya, tak  pangestuni ngger, sing ngati-ati,” Ja’far Sodiq langsung lunga.
                Kadigdayane  saka badhong iku banjur metu  mayuto-yuto tikus, sing uga kasunyatan digdaya. Yen digebug, tikus iku ora  malah mati, nanging saya ngamuk sakarepe dhewe. Bala tentara Majapahit  wedi mlayu sipat kuping, dhewe uga duwe sawijine pethi sing mati diantup tawon. Sing mesthi pimpinan pasukan majapahit Adipati Tenung, nyerah karo pasukan Ja’far Sodiq. Sabubare perang, Ja’far Shodiq ngawini anake Tenung, sing akhire duwe anak wolu.
                “Ja’far Sodiq dakakoni pancen kowe sekti, aku nyerah,” kandhane Adipati Terung marang Ja’far Sodiq. Aku duwe hadiah kanggo kowe. Apa kowe gelem dakkawinke karo anakku? Anakku ayu lan pinter.
                “Inggih, kula purun. Putrane panjenengan punapa purun kaliyan kula?”
                “Anakku mesthi gelem, lha wong anakku kuwi bocahe nurut marang aku.”
                Bareng tekan kratone Adipati Tenung ngomong karo anake.
                “Nduk, kowe kuwi wis gede, wes wayahe awakmu mbangun bale wisma,” kandhane Adipati Tenung marang anake.
                “Pepengine rama, kula enggal-enggal krama ngater?”
                “Iya, aku wis nemu jodho kanggo kowe, wong gagah, bagus, sekti lan nduwe sopan santun kang apik.”
                “Inggih rama, kula manut kaliyan rama kemawon, pundi ingkang sae kagem kula.”
                Akhire Ja’far Shadiq kawin karo putrane Adipati Tenung.
                Asile ngalahake Majapahit, Ja’far Sodiq saya kuat. Deweke entuk tugas kanggo ngalahake Adipati Handayaningrat, sing duwe niat nyerang Kerajaan Demak. Adipati Handayaningrat kaya dene pangkat sing dinggo Kebo Kenanga, panguwasa laladan pengging, wilayah Boyolali lan sakiwa tengene.
                Kebo Kenanga nduweni niat ngedekake negara dhewe karo ki Ageng Tingkir. Kekarone kuwi pendhereke Syekh Siti Jenar, sawijining guru sing mulang urip model suti. Kebo Kenanga lan Tingkir digambarake kaya dene dulur seperjuangan, sing padha sayange kaya dene dulur kandhung.
                Tandha-tandha mbalela kebo kenanga saya katon wektu dheweke mbangkang karo Raja Demak, Adipati Bintara utawa sing luwih kesuwur ajejuluk Raden Patah. Layang undangan sing digawe Raden Patah ditelantarake Kebo Kenanga nganti telung taun. Mula Raden Patah mutusake ngalahake mbalelane Kebo Kenanga iku.
                “Aku emoh ngadep Adipati Bintara,” kandhane Kebo Kenanga.
                “Aku arep ngedekake negara dewe karo ki Ageng Tingkir.”
                “Nganti salawase aku ora bakal ngadep Adipati Bintara.”
                “Wis nganti telung taun Kebo Keananga ora ngadep aku,” ngendikane Raden Patah.
                “Aku wis pasrah, yen ngene iku aku mutusake balelane Kebo Kenanga.”
                Raden Patah mrentah Ja’far Sodiq ngerem-ngerem Kebo Kenanga. Sak jroning perang, Kebo Kenanga mati, ananging kadigdayane Ja’far Sodiq panglima perang suwe-suwe lingsem. Nganti ancang-ancang pindhahe ing Kudus, Ja’far Sodiq wis ora dadi panglima perang ananging dadi penghulu masjid ing Demak.
                “Awakmu dakwenehi tugas ngerem-erem Kebo Kenanga,” kandhane Raden Patah marang Ja’far Sodiq.
                “Inggih sendika dauh Raden.”
                Ja’far Sodiq lunga marani Kebo Kenanga ananging Kebo Kenanga ora bisa diomongi kanthi alus. Ja’far Sodiq uga ngladeni kekarepane Kebo Kenanga. Kebo Kenanga kalah deweke mati ing medan perang.
                Sak lungane Ja’far Sodiq saka Demak, ana pangira Ja’far Sodiq salah paham karo Raja Demak. Menawa wae Ja’far Sodiq salah paham karo Sunan Kalijaga. Sakjroning serat kandha diterangake Ja’far Sodiq nduwe murid, Pangeran Prawoto. Pangeran Prawoto ngakoni Sunan Kalijaga iku guru anyar.
                Ja’far Sodiq nganggep, Pangeran Prawoto durhaka, amarga ngakoni guru loro, wektu iku pangeran Prawoto dadi raja Demak. Ja’far Sodiq nduweni niyat mateni Prawoto lewat tangane Aryu Penangsang, sing ora liya adhin kandhunge Prawoto.
                “Prawoto kuwi durhaka amarga ngakoni guru loro,” kandhane Ja’far Sodiq.
                “Aku nduwe niat arep mateni Prawoto.”
                “Arya Penangsang kuwe tak wenehi tugas mateni Prawoto.”
                “Nanging, Sunan, Prawoto menika kakang kula.”
                ”Aku rak peduli, pokoke Prawoto kudu mati.”
                Akhire Arya Penangsang banjur ngongkon wong liya, sing jenenge Rangkud.
                “Rangkud, aku njaluk tulung. Tulung kakang Prawoto kae pateni, Ja’far Sodiq ngongkon aku, ananging aku rak tegel amarga Prawoto kuwi kakangku dewe.”
                “Lha, kenapa kok kudu dipateni?”
                “Ngendikane Ja’far Sodiq, Prawoto kuwi durhaka amarga ngakoni guru loro.”
                “Ooo…ngono perkarane. Yen ngono aku gelem nglaksanakake tugas.”
                Pangeran Prawoto akhire mati karo bojone, sawise ditusuk rangkud, mayite Prawoto disendhekake ing awake bojone, amarga kekarone diunus pedhang. Rangkud uga mati amarga ora dinyana-nyana, sadurunge mati, Prawoto sempat nguncalake keris Kyai Bethok ing awake.
                Ja’far Sodiq ninggalake Demak kerana awake dhewe. Dheweke kepengin urip bebas kanggo kepentingan agama Islam. Durung jelas kapan cethane Ja’far Sodiq teka ana ing Kudus. Wektu Ja’far Sodiq teka ing Kudus, kutha iku isih dijenengi Kutha Tajug. Raiturut kandhane warga ing kono, sing pisanan mbiyarake kutha Tajug yaiku Kyai Telingsing. Jenenge asli Telingsing yaiku The Ling Sing amarga asale saka negara Cina nanging agamane Islam.
                Crita iki nuduhake yen kutha iku wis maju sadurunge Ja’far Sodiq teka. Crita sing dipercaya, Ja’far Sodiq dadi penghulu Demak sing nyingkir saka Kraton. Ing Tajug, Ja’far Sodiq kawitane urip ing tengah-tengahing jama’ah cilik. Ana sing natsin jamaah Ja’ar Sodiqsantrine ana sing saka Demak. Sakwise jamaahe saya akeh, Ja’far Sodiq banjur mbangun mesjid kanggo ngibadah lan kanggo pusat penyebaran agama. Panggonan ibadah sing diyakini dibangun Ja’far Sodiq yaiku mesjid menara Kudus, sing saiki isih ngadeg. Jenenge Ja’far Sodiq ditulis sajroning tembok mesjid.
                Miturut catetan lan critane masyarakat, Mesjid Menara Kudus iki dibangun taun 956 Hijriyah utawa 1549 M. Sajroning tulisan ana tembung basa arab sing artine “Mesjid Aqso iki didekke ing negara Qudus….” Cetha banget Ja’far Sodiq menehi jeneng masjid yaiku Mesjid Aqso, padha karo Mesjid Masjidil Aqso ing Yerussalem.
                Kutha Tajug uga nduweni jeneng anyar, yaiku Quds, banjur ganti dadi Kudus. Akhire Ja’far Sodiq dhewe luwih misuwur ajejuluk Sunan Kudus. Sajroning nyebarake agama Islam Sunan Kudus manut alirane Sunan Kalijaga, yaiku nggunakkae model “tutwuri Handayani” tegese Sunan Kudus yen nyebarake agama saka sethithik.
                Wektu iku wong Kudus isih dikuwasai penganut Hindhu. Mula Sunan Kudus anggone nyebarake agama kanthi cara nggabungake adat Hindhu mlebu ing Islam. Contone Sunan Kudus nyembelih kebo, ora sapi, wektu Idul Adha. Iku mratandhakake pangormatan Sunan Kudus marang umat Hindhu. Amarga sapi ing agama Hindhu kuwi kelebu kewan kang suci.
                Cara sing menarik supaya penganut agama liya siap ngrungokake ceramah agama Islam saka Sunan Kudus yaiku surat al- baqarah  sing artine sapi. Kerep diwacakake Sunan Kudus kanggo nengsemake sing ngrungokake.
                “Para jamaah nyuwu perhatosanipun, kula badhe maosaken Surat Al-Baqarah ingkang artosipun sapi.”
                Pembangunan Mesjid Kudus ora ninggalake arsitek Hindhu, wangun menarane teteparsitek gaya Hindhu.
                “Sunan kenging napa menara ingkang dipun damel kok bangunane sami kaliyan bentuk bangunan Hindhu?” pitakone salah sawijining santrine Sunan Kudus.
                “Kuwi mratandakake yen awake dhewe isih ngormati agama liya.”
                “Punapa kok kedhah ngaten Sunan?”
                “Amarga warga ing kene akehe nganut agama Hindhu, mula supaya masyarakat ora canggung, aku milih nyebarake agama kanthi cara mangkono.”
                “Oo..mekaten nggih, Sunan.”
                Kejaba menara Kudus deweke uga ninggali mesjid gedhe ing Kudus sing banjur dikenal kanthi sebutan Masjid Menara Kudus. Ing plataran mesjid ana bangunan menara kuno kang endah. Asal usule jeneng kudus miturut dongeng ing kalangan masyarakat yaiku jaman Sunan Kudus tau lunga kaji karo luru ngelmu ing negara Arab. Banjur dheweke uga mulang ing kana. Wektu iku tanah Arab kena wabah penyakit sing medeni, penyakit iku isa waras amarga jasane Sunan Kudus. Mulane wong kana menehi hadhiah karo Sunan Kudus. Ananging deweke ora gelem, mung kenang-kenangan watu sing dijaluk, watu iku saka kuto Baitul Makdis utawa Jerussalem. Mula kanggo tandha pangormatan tau neng kana banjur diwenehi jeneng Kudus.
                “Sunan punika kenang-kenangan saking warga mriki amargi sunan sampun nylametake masyarakat Arab saking wabah penyakit.”
                “Ora usah repot, aku nulung kanthi ati ikhlas.”
                “Punapa Sunan mboten kersa kaliyan hadiah punika?”
                “Ora ngono, aku mung pengen njaluk kenang-kenangan watu saka tanah Arab kene.”
                “Inggih, mangga Sunan, ananging punika namung watu biasa.”
                ”Ora apa-apa.”
                Kebiasaan unik Sunan Kudus sajroning dakwah yaiku acara bedhug dandang kanggo pratandha tekane sasi ramadhan kanggo ngundang para jamaah ing mesjid. Sunan Kudus nabuh bedug terus-terusan. Sakwise jamah kumpul ing mesjid Sunan Kudus ngumumake kapan peesise kawitane pasa pisanan.
                “Para jamaah pasa pisanan diwiwiti sesuk pajar. Mula padha disiapke lahir batin. Yen pasa aja mung ngempet hawa nafsu namun perilaku uga dijaga,” ngendikane Sunan Kudus.
                Saiki acara dandangan isih diterusake ananging wis adoh saka asline. Yen arep ramadhan akeh wong sing padha teka ing sakiwa tengene mesjid, ananging ora arep ngrungokake pengumuman awal pasa, mung kanggo tuku macem-macem jadah sing diedol para pedagang musiman.
                Sadurunge mesjid kuno kuwi dibangun, dheweke nggawe mesjid ing Nganguk, yaiku mesjide Sunan Kudus kang pisanan. Sajroning crita sakdurunge Sunan Kudus dadi pemimpin ing Kudus ana sawijining tokoh kang misuhur yaiku kyai Telingsing, amarga deweke wis tuwo pengen luru gantine.
                Sawijining dina kyai Telingsing ngadek lingak-linguk ujug-ujug Sunan Kudus saka kidul, banjur mesjid dibangun kanthi wektu kang cepet, malah ana sing kandha mesjid iku ujug-ujug ana terus diarani Mesjid Tiban. Banjur desa iku dijenengake Nganguk, mesjide dijenengi Mesjid Nganguk Wali.
                Sajroning crita masyarakat ing kono menara Kudus lan lawang kembar iku dibungkus saputangan kang digawa saka tanah Arab, ana sing kandha maneh lawang kembar pindhahan saka Majapahit.